4 Pihak Sarankan Tambah Pasal

TAK PUAS DENGAN DAKWAAN KELALAIAN SAJA

MALANG KOTA – Menyebabkan 135 orang meninggal, dan hanya mendapat ancaman hukuman maksimal selama lima tahun. Fakta itu membuat sejumlah pihak mulai angkat bicara. Mereka melihat bila sangkaan pasal yang dipakai penyidik kepada enam tersangka tragedi Kanjuruhan kurang pas. Terbaru, sikap tidak setuju disampaikan Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak).

Imam Hidayat S.H., M.H, Ketua Tatak, mengusulkan agar pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan bisa didahulukan penyidik. Baru setelah itu ditambahkan dengan pasal 359 KUHP dan 369 KUHP, yang sebelumnya sudah ditetapkan penyidik. Bila usulan itu terealisasi, tersangka tragedi Kanjuruhan bakal mendapat ancaman hukuman maksimal selama 15 tahun.

Alasan mereka karena peristiwa itu dilakukan petugas dalam kondisi sadar. “Artinya mereka (petugas) ini sadar akan kemungkinan (terjadinya kericuhan, red) itu. Apalagi sudah jelas-jelas ada larangan dari FIFA (untuk menggunakan gas air mata),” kata Imam. Khusus untuk mereka yang memberikan komando penembakan gas air mata, dia mengusulkan penerapan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Alasannya, selain mereka sadar dan tahu kemungkinan terjadinya chaos, mereka juga masih berani memerintahkan penembakan gas air mata. “Pertama, mereka sengaja menembakkannya ke tribun. Kemudian juga melanggar aturan FIFA. Ketiga, ada dugaan pintunya tertutup, itu unsur yang mengarah pada kesengajaan,” tambah Imam.

Usulan pasal dari Tatak itu sudah tertuang dalam bentuk surat tertulis. Haris Azhar S.H., M.A, salah satu anggota mereka, telah membawa surat itu Senin malam (24/10) ke Jakarta. Dia akan menyampaikannya kepada sejumlah pihak. Yakni kepada Presiden RI, Kapolri, Menko Polhukam, dan Kejaksaan Agung.

Selain Tatak, sejumlah pihak juga sudah menyampaikan penambahan atau penggantian pasal untuk tersangka tragedi Kanjuruhan (selengkapnya baca grafis). Seperti disampaikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), beberapa waktu lalu. Tercatat mereka mengusulkan penambahan empat pasal. Yakni pasal 351 dan 354 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 76C Undang-Undang (UU) RI nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, serta pasal 421 KUHP tentang pegawai negeri yang sewenang-wenang memakai kekuasaan.

Selain Tatak dan LPSK, kuasa hukum pendamping Tim Gabungan Aremania (TGA) Anjar Nawan Yusky juga sempat menyinggung perlunya penambahan pasal. Ada tiga pasal yang disebutkannya. Yakni pasal 351 dan 338 KHUP. Serta Pasal 99 UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM). “Menurut analisis kami, apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan saat itu tidak hanya sebuah kelalaian saja,” kata pria berusia 33 tahun tersebut.

Dari kacamatanya, ada sejumlah unsur yang diduga menjadi penyebab gugurnya 135 penonton. “Bahwa tindak kekerasan dari aparat keamanan telah memenuhi unsur tindak pidana penyiksaan dan pembunuhan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 dan pasal 338 KUHP,” tambahnya. Di tragedi Kanjuruhan, pihaknya juga melihat adanya serangan yang meluas dan sistematis dari aparat keamanan. Maka dari itu mereka mengusulkan pasal 99 UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Di tempat lain, pakar hukum pidana dan kriminologi Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya Dr M. Sholehoddin SH MH mengatakan bila sampai saat ini pasal yang diusulkan masih samar-samar. “Sejauh ini yang terlihat unsur-unsurnya masih sesuai dengan yang disangkakan polisi. Yakni terkait kelalaian,” kata dia.

Untuk dugaan penganiayaan, dia mengaku masih belum melihat adanya unsur tersebut. Penganiayaan yang dia contohkan seperti seorang aparat yang tiba-tiba saja memukul atau melakukan penyiksaan kepada penonton yang diam, dan penonton itu tidak melakukan perlawanan. Tapi jika penonton lebih dahulu melakukan pemukulan atau perlawanan ke petugas, pasal penganiayaan tidak bisa masuk.

Dari pengamatannya, pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan sebenarnya bisa diterapkan. Tapi itu perlu pembuktian lebih lanjut. Untuk melihat apakah tindakan aparat merupakan sebuah kesengajaan. Bila unsur ketidaksengajaan yang lebih dominan, Sholeh menyebut bila pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian lebih pas dipakai penyidik.

Sebelumnya, sejumlah pihak juga menyinggung dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam tragedi Kanjuruhan. Menanggapi hal itu, Sholeh mengatakan bila pembuktiannya harus memenuhi dua unsur. Yakni terstruktur dan masif. Dia melihat bila dua unsur itu belum terpenuhi dalam tragedi Kanjuruhan.

Secara umum, dia juga mengkritisi proses penyidikan kasus pidana yang dilakukan terhadap anggota kepolisian. Sholeh menyebut perlunya lembaga independen yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap anggota kepolisian. “Ibarat kata, jeruk makan jeruk. Penyidik kepolisian menyidik anggota atau rekannya sendiri. Ini rawan terjadi kesalahan dan hasil hukuman yang tidak adil,” kata Sholeh.

Dua Pengacara Tersangka juga Soroti Pasal

Sumardhan S.H., M.H, pengacara Ketua Panpel Arema Abdul Haris, juga menyoroti pemberlakuan pasal untuk para tersangka. Dari analisisnya, agar kasus itu benar-benar adil, harus juga ditambahkan pasal 55 KUHP tentang penyertaan tindak pidana. Selama ini, pengacara dari Kantor Edan Law Malang itu melihat bila pasal-pasal yang digunakan masih tunggal. Artinya, yang bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan baru dilihat per individu. “Jadi seolah hanya satu orang menjadi penyebab tragedi ini,” kata dia. Sementara dalam proses pengamanan sebuah pertandingan sepak bola, ada banyak pihak yang terlibat. Berangkat dari itu, dia melihat pasal 55 KUHP bisa menjadi pelengkap sangkaan yang digunakan pihak keamanan saat ini. Sebab pada pasal tersebut, mereka yang menyuruh, melaksanakan, dan ikut membantu bisa dikenakan hukuman juga.

Dia juga menyoroti dugaan unsur kesengajaan dari pihak aparat keamanan. “Pasal tentang pembunuhan dan penganiayaan lebih pas jika dikenakan pada yang menembakkan gas air mata,” kata dia. Sumardhan tidak melihat unsur kesengajaan dari tersangka kalangan sipil. Termasuk dari kliennya.

Hal serupa juga disampaikan kuasa hukum Suko Sutrisno, Agus Ghozali SH MH. “(Dugaan pembunuhan dan penganiayaan) tidak masuk kalau diterapkan ke tersangka sipil. Tidak masuk dalam unsur siapa yang melakukan bila konteks kesengajaan,” kata dia. Bila penyidik menemukan unsur kesengajaan, dia melihat bila pasal 421 tentang kesewenang-wenangan pegawai negeri juga dapat dikenakan.

Pakar Hukum UB Sarankan Penembak Gas Air Mata Juga Ditindak

Potensi penambahan pasal di tragedi Kanjuruhan juga mendapat sorotan dari Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Dr Fachrizal Afandi SPsi SH MH. “Bisa dilihat saat penembakan gas air mata (ke tribun), itu bukan kelalaian saja, tapi kesengajaan sampai salah komando,” kata dia.

Pria yang akrab Rizal itu menyebut bila para tersangka bisa dijerat dengan dua pasal tambahan. Yakni pasal 338 KUHP tentang pembunuhan yang disengaja, dan pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat. Ancaman hukumannya bisa tiga kali lipat lebih berat dari pasal 359 dan 360 KUHP. “Mungkin tidak semua, tapi satu dari enam tersangka bisa saja dijerat dengan dua pasal itu,” tambah pria yang juga menjadi Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) UB itu.

Rizal juga melihat bila penetapan enam tersangka yang kini ditahan masih kurang. Dari sejumlah video yang beredar di media sosial (medsos), dia menyebut bila para penembak gas air mata dan pelaku kekerasan ke suporter seharusnya juga jadi tersangka.

Lebih lanjut untuk aparat keamanan, pria kelahiran Malang itu mengusulkan penambahan tiga pasal. Yakni pasal 52 KUHP tentang pejabat yang melanggar karena memakai kekuasaan. Selanjutnya pasal 53 KUHP tentang melakukan kejahatan karena niat. Serta pasal 56 KUHP tentang sengaja memberi bantuan untuk kejahatan.

Meski begitu, dia sadar bila usulan-usulan pasal itu tergantung dari temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk Kemenko Polhukam. Mengingat sejauh ini, dikatakan Rizal, para tersangka juga perlu diperiksa lagi.

Hal serupa juga disampaikan Pakar Hukum Pidana UB Dr Prija Jatmika SH MH. Secara umum, dia melihat bila penerapan pasal 359 dan 360 KUHP sudah cukup tepat. “Mereka (tersangka) memang lalai dan penerapan pasal itu juga tepat,” kata dia. Hanya saja, dia melihat bila para penembak gas air mata dan pelaku kekerasan di lapangan juga selayaknya diusut.

Prija juga mengikuti kabar usulan pasal yang disampaikan LPSK RI, beberapa waktu lalu. Salah satunya yakni usulan pasal 76C UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Yang pasti menurut dia, aparat harus jeli dalam melakukan penyidikan. “Korban anak-anak memang banyak, namun yang lebih pas juga pasal 338 KUHP, itu sudah mewakili,” beber Prija. (biy/nif/gp/adn/by)