Nasib Palestina Dibalik Normalisasi Hubungan Israel Dan Bahrain
TEMPO.CO, Jakarta – Keputusan Bahrain mengikuti Uni Emirat Arab melakukan normalisasi hubungan Israel, menuai kontroversi. Banyak yang mengecam Bahrain, namun ada pula yang mendukung seperti Mesir dan Oman. Motivasi beberapa negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Isreal semakin dipertanyakan.
Bahrain telah menjadi negara terbaru yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel pada akhir pekan lalu. Keputusan Bahrain itu tidak mengejutkan karena sejak Presiden Amerika Serikat Donald Trump Uni mengumumkan Emirat Arab telah melakukan normalisasi hubungan Israel, nama Bahrain muncul kepermukaan sebagai negara yang akan menyusul langkah Uni Emirat Arab.
Ilustrasi bendera Israel. Sumber: aa.com.tr
Keputusan Bahrain menormalisasi hubungan dengan Israel tentu tidak diambil dalam semalam. Dalam beberapa tahun terakhir, Bahrain sudah terlihat segan mempublikasi hubungan dengan Israel.
Itu terlihat pada Februari 2017 ketika Raja Hamad bin Isa Al Khalifa melakukan pertemuan dengan pejabat tinggi Israel di Amerika Serikat. Saat itu, Bahrain dilaporkan telah memperlihatkan sikap menentang negara-negara Arab memboikot barang-barang dari Israel. Pada tahun yang sama, kelompok dialog lintas agama yang didukung oleh Bahrain memicu kemarahan masyarakat Palestina karena mengunjungi Israel beberapa hari setelah Presiden Trump mengumumkan pengakuannya Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Keputusan Bahrain pada Jumat, 11 September 2020, untuk mengesahkan secara terbuka normalisasi hubungan Israel di nilai sebagai pukulan telak dan pengkhianatan Bahrain kepada Palestina. Kenyataan ini juga semakin mengesampingkan upaya Palestina dan negara Arab lainnya dalam mewujudkan Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan terisolasi dalam kerangka perdamaian yang didikte oleh Amerika Serikat.
“Tidak ada keraguan kalau ini pukulan telak bagi Palestina dan pesimisme kalau Palestina tidak lagi menjadi prioritas bagi negara-negara Arab,” kata Ian Black, pengamat dari Middle East Centre di London School of Economics.
Palestina menginginkan sebuah negara merdeka berdasarkan perbatasan de facto sebelum perang 1967 meletup, di mana Israel menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza serta mencaplok Yerusalem Timur. Negara-negara Arab sudah lama menyerukan agar Negara Bintang Daud itu menarik diri dari pendudukannya. Ini dinilai sebagai solusi yang adil bagi para pengungsi Palestina dan mengarah pada pembentukan Palestina sebagai negara yang merdeka. Sebagai imbalannya, negara-negara Arab mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Akan tetapi, harapan itu sekarang tampak tinggal kenangan. Beberapa analis mengatakan kesepakatan normalisasi hubungan Israel oleh beberapa negara Arab tidak mungkin terjadi tanpa dukungan Arab Saudi.
“Agenda politik Bahrain tampak didikte oleh Arab Saudi,” kata Marwa Fatafta, anggota jaringan kebijakan Palestina, Al-Shabaka.
Pada akhir 2018 atau beberapa bulan sebelum Pemerintah Bahrain setuju menjadi tuan rumah konferensi Middle East plan yang dipimpin oleh Presiden Trump, Uni Emirat Arab dan Kuwait berjanji bakal mengucurkan bantuan keuangan ke Bahrain agar negara itu bisa menstabilkan keuangannya. Bahrain bergantung secara keuangan pada negara-negara tetangganya.
Menurut Fatafta, aliansi baru Bahrain dengan Israel kemungkinan bisa membantu negara itu memperkuat diri dan menghancurkan setiap perlawanan terhadap otoriterisme atau upaya menuju kebebasan dan demokrasi.
Pada 2011 ketika terjadi gejolak Arab Spring, Arab Saudi mengirimkan pasukan militer ke Bahrain untuk membantu negara itu menghadapi gelombang unjuk rasa anti-pemerintah. Mereka yang berunjuk rasa menentang Kerajaan Bahrain, yang di nilai telah melakukan penindasan.
“Maka itu, dengan bergabungnya Bahrain ke ‘kereta’ yang dipimpin oleh Amerika Serikat, ini bisa memberikan perlindungan pada Kerajaan Bahrain dari rakyatnya sendiri (yang ingin melawan negara),” kata Mouin Rabbani, co-editor Jadaliyya.
Amerika Serikat menjadi mediator normalisasi hubungan Israel dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab. Rabbani mengatakan dengan normalisasi ini Bahrain memastikan mendapatkan sekutu yang sama-sama berkomitmen menjaga status quo dan mencegah pemberontakan oleh rakyat.
Kepala Islam Syiah Bahrain, Isa Qassim, yang tinggal di luar negeri, pada Minggu, 13 September 2020 menentang normalisasi hubungan Israel – Bahrain. Dia pun mendesak masyarakat Bahrain untuk melawan. Qassim mengatakan Bahrain adalah kerajaan di Teluk yang paling sering bertolak-belakang dengan rakyatnya sendiri.
Kata Jared Kusher
Sebelum Bahrain mempublikasi normalisasi hubungan Israel, penasehat senior yang juga menantu Presiden Trump, Jared Kushner meminta agar Palestina tidak terpaku masa lalu. Kushner meminta Palestina agar mau berunding dengan Israel.
“Mereka harus datang ke meja perundingan. Perdamaian akan disiapkan untuk mereka, peluang akan disiapkan untuk mereka secepat saat mereka siap untuk melakukannya,” kata Kushner seperti dikutip dari Reuters.
Palestina telah menegaskan sikapnya menolak bernegosiasi dengan Israel. Palestina juga mengecam normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.
Pada pertengahan Agustus 2020, Kushner mengatakan kredibilitas kepemimpinan Palestina telah berada di titik terendah dan Amerika Serikat sudah tidak akan lagi mengejar Palestina agar membuat sebuah kesepakatan damai jika Palestina terus-menerus menolak tawaran Amerika Serikat.
Menurut Kushner, saat ini ada puncak rasa frustrasi di kawasan Timur Tengah terhadap hal yang disebut penghalang kemajuan masyarakat Palestina.
“Kami tidak akan mengejar pemimpin Palestina. Kredibilitas mereka sudah jatuh ke titik terendah, bahkan masyarakat yang ingin membantu masyarakat Palestina mengatakan ‘Anda tidak bisa membantu masyarakat yang tidak mau menolong diri mereka sendiri’,” kata Kushner.
Sumber:
/news/2020/09/cloneofbahrain-normalisation-deal-israel .html
/article/us-israel-emirates-usa/israeli-u-s-officials-land-in-uae-kushner-urges-palestinians-to-negotiate-idUSKBN25R0LX
/news/nation-world/united-arab-emirates-israel-jared-kushner-mideast-peace .html