Huawei Kisah Perjalanan Perusahaan Kontroversial Yang Dituduh Sebagai Matamata Cina

* Karishma Vaswani
* Wartawan bisnis Asia BBC

Dalam waktu dekat, jaringan internet 5G akan tersebar di mana-mana.

Huawei adalah pionirnya, tetapi kini dituduh menjadi gerbang bagi Cina untuk memata-matai negara-negara Barat.

Apakah benar demikian? Atau Huawei merupakan korban dari rumor tak menguntungkan tersebut?

Markas Uni Afrika (AU) di Addis Ababa tampak seperti pesawat luar angkasa yang berkilauan di tengah cahaya matahari.

Dengan gedung pencakar langit yang berdiri di sampingnya, markas tersebut tampak mencolok di ibu kota Etiopia.

Sapaan salam dalam bahasa Mandarin menyambut pengunjung saat memasuki elevator, pohon-pohon palem plastik menahan logo Bank Pembangunan Cina.

Keterangan gambar, Markas Uni Afrika di Addis Ababa

Di mana-mana, terdapat indikasi kecil yang mengatakan bahwa bangunan tersebut memungkinkan dibangun berkat bantuan dana asal Cina.

Pada tahun 2006, Beijing menjanjikan dana sebesar US$200 juta atau sekitar Rp2,8 triliun untuk membangun markas itu. Selesai dibangun tahun 2012, segalanya dibangun khusus oleh Cina – termasuk sistem komputer yang canggih.

Selama beberapa tahun, bangunan tersebut menjadi kebanggaan atas kedekatan hubungan Afrika dengan Cina.

Perdagangan meningkat signifikan selama dua dekade terakhir, tumbuh sekitar 20% per tahun, menurut catatan konsultan internasional McKinsey. Cina adalah sekutu ekonomi terbesar Afrika.

Keterangan gambar, Selesai dibangun tahun 2012, gedung markas Uni Afrika ini jadi kebanggaan akan kedekatan hubungan Afrika dengan Cina

Namun pada bulan Januari 2018, surat kabar berbahasa Perancis Le Monde Afrique menulis berita menghebohkan.

Mereka melaporkan bahwa sistem komputer Uni Afrika telah disusupi.

Surat kabar tersebut – yang mengutip sejumlah sumber – menyatakan bahwa selama lima tahun, setiap malam antara tengah malam hingga pukul 2 dini hari, data dari server Uni Afrika ditransfer ke server di kota berjarak 8.000 kilometer dari Addis Ababa: Shanghai.

Hal tersebut diduga terus berlangsung selama 1.825 hari berturut-turut.

Le Monde Afrique melaporkan bahwa hal tersebut mulai tersorot pada tahun 2017, ketika seorang ilmuwan yang bekerja untuk Uni Afrika merekam aktivitas komputer yang tidak biasa dalam jumlah besar di server AU pada jam-jam ketika semua pegawai sudah meninggalkan gedung kantor.

Dilaporkan pula penemuan mikrofon dan alat pendengar di dalam tembok-tembok dan meja-meja di gedung tersebut, menyusul penyisiran terhadap ancaman penyadapan.

Reaksi pun dengan cepat muncul.

Baik pejabat Uni Afrika maupun Cina mengutuk pemberitaan tersebut sebagai berita bohong dan sensasional semata.

Mereka menyebutnya sebagai upaya media Barat untuk merusak hubungan antara Cina yang bersikap lebih tegas dengan Afrika yang semakin berdikari.

Namun Le Monde Afrique mengatakan bahwa pejabat AU sendiri telah secara diam-diam menyatakan kekhawatiran mereka akan betapa tergantungnya mereka terhadap bantuan Cina dan konsekuensi apa yang kemudian bisa muncul.

Di tengah itu semua, sebuah fakta terlewat untuk diberitakan.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Huawei membantah tuduhan bahwa mereka menyokong aksi mata-mata Cina.

Penyuplai utama informasi dan sistem teknologi komunikasi ke markas AU merupakan perusahaan perangkat telekomunikasi terkemuka asal Cina, Huawei.

“Ini bukan berarti perusahaan tersebut terlibat dalam pencurian data,” ujar Danielle Cave, pengamat senior Australian Strategic Policy Institute, dalam ulasan terkait dugaan insiden tersebut.

“Tapi… sulit untuk tidak melihat Huawei – yang berperan sebagai penyedia perangkat sekaligus penyedia kunci layanan informasi dan sistem teknologi komunikasi markas AU, khususnya bagi pusat data AU – benar-benar tidak tahu menahu soal pencurian data besar-besaran yang sangat kentara, setiap hari, selama lima tahun.”

Keterangan gambar, Markas Huawei di Shenzhen, Cina

Juru bicara Huawei mengatakan kepada BBC, “Jika ada kebocoran data dari komputer-komputer di markas AU di Addis Ababa yang berlangsung selama periode waktu tertentu, data-data ini tidak berasal dari teknologi yang disuplai Huawei bagi AU. Yang kami sediakan bagi proyek AU adalah fasilitas pusat data, tetapi fasilitas-fasilitas itu tidak memiliki fungsi sebagai ruang penyimpanan data maupun fungsi transfer data.”

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa perangkat jaringan telekomunikasi Huawei digunakan oleh pemerintahan Cina – atau siapa pun – untuk memperoleh akses ke data pelanggan mereka. Huawei merupakan satu dari sejumlah penyuplai proyek tersebut.

Dan memang, tak ada satu pun orang yang sejak awal secara terbuka membenarkan adanya penyusupan terhadap sistem komputer Uni Afrika.

Namun berita-berita tersebut lantas menimbulkan kecurigaan bertahun-tahun terhadap Huawei – bahwa perusahaan raksasa asal Cina itu sangat dipengaruhi oleh pemerintah Cina.

Ren Zhengfei dan kebangkitan Huawei

“Ketika saya memulainya 30 tahun lalu… kami tidak punya telepon sama sekali. Satu-satunya telepon yang kami punya adalah telepon putar yang biasanya kamu lihat di film-film Perang Dunia II. Kami belum maju saat itu.”

Keterangan gambar, Ren Zhengfei adalah pebisnis terkaya di Cina.

Pendiri sekaligus pemimpin Huawei, Ren Zhengfei, meraba memorinya tentang awal mula ia mendirikan perusahaan telepon pintar terbesar kedua di dunia itu kepada BBC, di markas Huawei yang berdiri di kota Shenzhen – simbol kesuksesan yang ia rintis sejak lama.

Tangga panjang dari marmer, dilapisi karpet merah mewah, menyambut Anda saat memasuki gedung itu.

Di puncak tangga, sebuah lukisan raksasa tampak menggambarkan pemandangan perayaan tradisional tahun baru Cina.

Keterangan gambar, Interior markas Huawei di Shenzhen

Di kota Dongguan yang berjarak beberapa kilometer, kampus terbaru Huawei bahkan terlihat lebih mencolok.

Lokasi itu – yang dirancang untuk mengakomodasi 25.000 staf penelitian dan pengembangan perusahaan – terdiri dari 12 “desa”, masing-masing mereka ulang gaya arsitektur beberapa kota di benua Eropa, di antaranya Paris, Bologna, dan Granada.

Kompleks itu tampak seakan-akan Silicon Valley diciptakan ulang oleh Walt Disney.

Koridor-koridor panjang yang terbentuk dari deretan pilar khas arsitektur Romawi serta kafe-kafe cantik menghiasi lingkungan kampus, dengan sebuah kereta yang menghubungkan kawasan yang satu dengan kawasan lain, melintasi kebun yang ditata rapi dan sebuah danau buatan.

Lingkungan kampus itu jauh berbeda dengan lingkungan yang ada di sekitar Ren saat ia pertama kali mendirikan perusahaannya itu tahun 1987 lalu.

“Saya mendirikan Huawei saat Cina mulai menerapkan kebijakan reformasi dan keterbukaan,” ujarnya. “Saat itu, Cina tengah berubah dari sistem ekonomi terencana, menjadi sistem ekonomi pasar. Jangankan saya, pejabat pemerintah paling senior pun tidak tahu seperti apa sistem ekonomi pasar itu. Rasanya akan sulit untuk bertahan.”

Ren lahir tahun 1944 di Cina Selatan – daerah yang penuh kekacauan dan kerusuhan, salah satu daerah termiskin di negara yang kala itu dalam kondisi melarat.

Untuk waktu yang lama, kesulitan akrab dalam hidup Ren.

Ia berasal dari keluarga dengan tujuh anak. “Mereka sangat miskin,” ungkap David De Cremer yang ikut menulis buku mengenai Ren dan Huawei.

“Saya rasa kesulitan merupakan sesuatu yang Anda bisa lihat di sepanjang hidupnya, sesuatu yang ia terus tekankan pada sosoknya.”

Untuk keluar dari kemiskinan dan pekerjaan yang membosankan, Ren melakukan apa yang banyak pemuda Cina lakukan pada masa itu. Ia menjadi tentara.

Sumber gambar, PAVLO CONCHAR/SOPA IMAGES/LIGHTROCKET VIA GETTY

“Saya menjadi anggota berpangkat rendah di pasukan Tentara Pembebasan Rakyat,” ungkapnya. “Saya bekerja di proyek konstruksi biasa, bukan pasukan lapangan. Saat itu, saya menjadi teknisi sebuah perusahaan di ketentaraan, kemudian saya menjadi seorang insinyur.”

Ia meninggalkan dunia militer tahun 1983 ketika Cina mulai memperkecil jumlah pasukannya. Ia lantas terjun ke usaha elektonik.

Ren mengakui, ia bukan pengusaha hebat pada mulanya.

“Saya adalah orang yang bergelut di dunia militer sepanjang umur saya saat itu, saya terbiasa melakukan apa yang diperintahkan,” tutur Ren.

“Tiba-tiba, saya mulai bekerja di tengah sistem ekonomi pasar. Saya benar-benar tersesat. Tentu saja saya juga merugi, saya juga dicurangi, dan saya dikhianati.”

Namun ia cepat belajar, dan menjadi pembelajar yang giat akan praktik bisnis dunia barat dan sejarah Eropa.

“Saya melakukan riset tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekonomi pasar,” katanya. “Saya membaca buku tentang hukum, termasuk buku-buku hukum Eropa dan AS. Saat itu, hanya ada sedikit buku terkait hukum Cina, dan saya harus membaca itu di buku hukum Eropa dan AS.”

Lima tahun kemudian, ia mendirikan Huawei – nama tersebut dapat diterjemahkan dengan frasa “pencapaian yang sangat baik” atau “Cina bisa” – untuk menjual perangkat telekomunikasi sederhana ke pasar pedalaman Cina.

Dalam beberapa tahun, Huawei lantas mengembangkan dan memproduksi perangkat mereka sendiri.

Sekitar awal tahun ’90-an, Huawei memenangkan kontrak dari pemerintah untuk menyediakan perangkat telekomunikasi bagi Tentara Pembebasan Rakyat.

Hingga tahun 1995, perusahaan tersebut memperoleh pendapatan penjualan sekitar US$220.000 atau sekitar Rp3 miliar, sebagian besar berasal dari penjualan ke pasar pedalaman.

Pada tahun berikutnya, Huawei memperoleh status sebagai “juara nasional” Cina. Pada praktiknya, ini berarti pemerintah menutup pasar terhadap kompetisi asing.

Perekonomian Cina yang tumbuh dengan angka rata-rata 10% per tahun memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Namun hanya ketika Huawei mulai merambah ke mancanegara pada tahun 2000, angka penjualannya membludak.

Tahun 2002, Huawei memperoleh US$552 juta atau Rp7 triliun dari penjualan pasar internasionalnya. Hingga akhirnya pada tahun 2005, kontrak pasar internasionalnya melampaui bisnis domestik mereka untuk pertama kalinya.

Masa-masa awal Ren berbisnis menanamkan dalam dirinya sebuah hasrat untuk melindungi perusahaannya dari godaan dan fantasi akan pasar saham. Huawei didirikan secara pribadi dan dimiliki oleh pegawainya.

Hal ini memberi Ren kekuatan untuk memutar lebih banyak uang untuk keperluan riset dan pengembangan (R&D). Setiap tahun, Huawei menghabiskan US$20 miliar atau sekitar Rp283 triliun untuk hal tersebut – salah satu pendanaan terbesar di dunia untuk keperluan R&D.

“Perusahaan-perusahaan publik harus sangat memerhatikan arus keluar-masuk keuangan mereka,” ujarnya.

“Mereka tidak bisa terlalu banyak berinvestasi, jika tidak keuntungan akan anjlok, begitu juga harga saham mereka. Di Huawei, kami memperjuangkan idealisme kami. Kami tahu jika kami menyuburkan ‘tanah’ kami, maka keuntungan yang didapat akan lebih berlimpah. Begitulah cara kami berhasil unggul dan sukses.”

Sebuah cerita di masa-masa awal berdirinya perusahaan mengisahkan bagaimana Ren memasak untuk karyawannya (ia suka memasak). Tiba-tiba ia keluar dari dapur dan mengumumkan ke seantero ruangan: “Huawei akan menjadi tiga pemain teratas dalam pasar komunikasi global 20 tahun dari sekarang!”

Dan itu lah yang persis terjadi. Faktanya, ambisi-ambisi tersebut bahkan terlampaui.

Kini, Huawei merupakan pedagang perangkat jaringan telekomunikasi terbesar di dunia.

Dari perusahaan rintisan hingga menjelma menjadi perusahaan seperti Apple, Huawei kini menjual lebih banyak telepon pintar dibandingkan Apple.

Akan tetapi, bayang-bayang terus meliputi kesuksesan internasional Huawei.

Hubungan Ren dan Huawei dengan Partai Komunis Cina telah memunculkan kecurigaan bahwa perusahaan tersebut berutang budi pada pemangku kekuasaan politik Cina atas keberhasilan mereka. Amerika Serikat menuduh Huawei sebagai alat pemerintah Cina.

Itu adalah tuduhan yang dibantah Ren.

“Tolong jangan menganggap kesuksesan Huawei saat ini karena kami memiliki hubungan khusus,” tuturnya. “Bahkan badan usaha milik negara telah 100% gagal. Apakah hubungan khusus bisa menjamin kesuksesan? Kesuksesan Huawei sebagian besar berkat kerja keras kami.”

Awal mula kasus Huawei mengemuka
Hari itu tanggal 1 Desember 2018. Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping menikmati makan malam stik daging sirloin panggang yang ditutup dengan kue panekuk gulung karamel pada pertemuan G20 di Buenos Aires, Argentina.

Mereka harus mendiskusikan banyak hal. Amerika dan China tengah terlibat perang dagang – menerapkan bea terhadap komoditas masing-masing – dan pertumbuhan kedua negara diperkirakan rendah. Hal ini memupuk kekhawatiran akan melambatnya perekonomian global.

Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin negara sepakat menerapkan ‘gencatan senjata’, di mana Trump kemudian mencuit di akun Twitternya bahwa “Hubungan dengan China mengalami lompatan kemajuan yang besar!”

Sumber gambar, SAUL LOEB/AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Xi Jinping dan Donald Trump dalam jamuan makan malam pada G20 di Buenos Aires, Desember Namun ribuan kilometer di utara Kanada, aksi penangkapan terjadi dan menimbulkan keraguan akan upaya pendekatan yang tengah dijalani.

Meng Wanzhou, kepala bidang keuangan Huawei sekaligus putri tertua Ren Zhengfei, ditahan aparat Kanada ketika berpindah penerbangan di Bandara Vancouver.

Penangkapan tersebut merupakan permintaan AS, yang menuduhnya melanggar sanksi terhadap Iran.

“Saat ia ditahan, sebagai ayahnya, hati saya hancur,” ungkap Ren, emosional.

“Bagaimana mungkin saya tega melihat anak saya mengalami hal itu? Namun yang terjadi, sudah terjadi. Kami hanya bisa mengandalkan hukum untuk menyelesaikan masalah ini.”

Sumber gambar, DON MACKINNON/AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Meng Wanzhou dibawa ke pengadilan di Kanada

Masalah yang merundung Huawei itu baru permulaan. Hampir dua bulan kemudian, Departemen Kehakiman AS melayangkan dua tuduhan terhadap Huawei dan Meng.

Pada tuduhan pertama, Huawei dan Meng didakwa telah menyesatkan pihak bank dan pemerintah AS terkait bisnis Huawei di Iran.

Tuduhan kedua – terhadap Huawei – melibatkan tuduhan kriminal termasuk menghalangi upaya penegakkan hukum dan percobaan pencurian rahasia perdagangan.

Baik Huawei maupun Meng menyangkal kedua tuduhan tersebut.

Tuduhan pencurian rahasia perdagangan berpusar pada sebuah alat robotik – dikembangkan oleh T-Mobile – bernama Tappy.

Berdasarkan dokumen hukum, Huawei mencoba membeli Tappy, sebuah alat yang meniru jari tangan manusia dengan menyentuh layar telepon genggam secara cepat untuk menguji tingkat keresponsifan.

T-Mobile kala itu tengah menjalin kerja sama dengan Huawei, namun mereka menolak penawaran perusahaan China tersebut, karena khawatir Huawei akan menggunakan teknologi itu untuk menciptakan telepon bagi pesaing T-Mobile.

Diduga bahwa salah satu karyawan Huawei AS menyelundupkan lengan robotik Tappy ke dalam tasnya sehingga ia bisa mengirimkan rincian robot itu kepada rekannya di Cina.

Setelah dugaan pencurian tersebut terungkap, karyawan Huawei tersebut mengklaim bahwa lengan robotik itu tak sengaja jatuh dan masuk ke dalam tasnya.

Huawei mengklaim bahwa karyawan tersebut beraksi sendirian, dan kasus itu telah diselesaikan di pengadilan tahun 2014 lalu. Namun kasus terakhir menunjukkan adanya jejak email antara para manajer Huawei di Cina dan para karyawan Huawei di AS, menyeret manajemen Huawei ke dalam pusaran tuduhan pencurian.

Tuduhan itu juga merinci bukti adanya skema bonus dari tahun 2013, yang menawarkan pegawai Huawei hadiah uang bagi mereka yang bisa mencuri informasi rahasia dari para pesaing.

Huawei telah membantah terdapatnya skema itu.

Sumber gambar, JASON REDMOND/AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Meng Wanzhou tiba di Pengadilan Tinggi British Columbia, Vancouver, 6 Maret Ini bukan kali pertama Huawei dituduh mencuri rahasia perdagangan. Selama bertahun-tahun, perusahaan seperti Cisco, Nortel dan Motorola telah menuduh Huawei atas kasus serupa.

Namun kekhawatiran AS akan Huawei lebih dari sekadar aksi mata-mata dalam ranah industri. Selama lebih dari satu dekade, pemerintah AS menganggap perusahaan itu sebagai perpanjangan tangan Partai Komunis Cina.

Kekhawatiran tersebut semakin menguat dengan hadirnya internet 5G atau internet “generasi kelima”, yang menjanjikan kecepatan unduh 10 sampai 20 kali lebih cepat dibanding saat ini, serta konektivitas lebih mumpuni antar perangkat.

Sebagai penyedia infrastruktur telekomunikasi terbesar di dunia, Huawei merupakan salah satu perusahaan terbaik untuk membangun jaringan 5G. Namun AS telah memperingatkan sekutu intelijen mereka bahwa menjalin kontrak dengan Huawei sama saja dengan membiarkan Cina memata-matai mereka.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo baru-baru ini mengeluarkan peringatan terkait Huawei, di mana ia mengatakan, “Jika suatu negara mengadopsinya (Huawei) dan menanamnya dalam sistem informasi penting mereka, kami tak bisa berbagi informasi dengan negara tersebut.”

Sumber gambar, Tuan Mark/Getty Images

Keterangan gambar, Presiden AS Donald Trump dan Menlu AS Mike Pompeo

AS, Jerman, dan Kanada tengah mengkaji apakah produk Huawei mengandung ancaman keamanan.

Australia mengambil langkah lebih awal dan lebih jauh tahun lalu, dan melarang penyedia perangkat mana pun “yang kemungkinan menjadi subjek yang dikendalikan secara ekstrayudisial oleh pemerintah asing.”

Nama Huawei tidak disebut secara langsung, namun Danielle Cave dari Australian Strategic Policy Institute menyatakan bahwa perusahaan tersebut mengandung risiko kemanan nasional akibat hubungan mereka dengan pemerintah Cina.

Ia merujuk pada pasal dalam undang-undang Cina yang membuat sebuah perusahaan tidak mungkin menolak permintaan bantuan dari Partai Komunisa Cina dalam upaya pengumpulan informasi intelijen.

“Yang harus diakui, yang terlewat dari debat ini adalah bukti yang tak bisa dibantah ini,” ujarnya.

“Bagi masyarakat umum yang memiliki ponsel Huawei, ini bukan masalah besar. Namun jika Anda adalah pemerintah negara barat yang harus melindungi keamanan nasionalnya – mengapa Anda harus mau membuka akses terhadap perusahaan yang dalam sistem politiknya mengijinkan pemerintah Cina ikut terlibat?”

Terkait hal ini, Ren mengatakan bahwa sumber daya Huawei tak pernah dan tak akan pernah digunakan untuk memata-matai bagi pemerintah Cina.

“Pemerintah Cina dengan jelas menyatakan bahwa mereka tak akan meminta perusahaan untuk memasang pintu belakang,” paparnya.

“Pintu belakang” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan titik masuk rahasia dalam suatu perangkat lunak atau sistem komputer yang memberikan akses kepada seseorang atau entitas tertentu yang memasangnya untuk masuk ke dalam sistem tersebut.

“Huawei juga tak akan melakukan itu,” lanjutnya.

“Keuntungan penjualan kami saat ini mencapai ratusan miliar dolar. Kami tak akan membahayakan keburukan negara kami dan pelanggan kami di seluruh dunia hanya untuk itu. Kami bisa kehilangan bisnis kami. Saya tidak akan mengambil risiko itu.”

China di bawah Xi Jinping
Zhou Daiqi adalah kepala bidang etika dan penyesuaian Huawei.

Ia telah bekerja di perusahaan itu selama 25 tahun, di sejumlah posisi – kepala teknisi, direktur departemen perangkat keras, juga kepala pusat penelitian di Xi’an, berdasarkan biografi yang tertulis di situs perusahaan itu.

Ia juga dikenal memadukan tugas-tugasnya sebagai seorang pejabat perusahaan kelas atas dengan peran lainnya – sekretaris partai untuk komite Partai Komunis Cina.

Seluruh perusahaan di Cina disyaratkan oleh undang-undang untuk memiliki komite Partai Komunis.

Keterangan gambar, Profil Zhou Daiqi di situs Huawei

Kalimat resminya yaitu bahwa komite tersebut dibentuk untuk memastikan bahwa para pegawai perusahaan menjungjung tinggi moral bangsa dan nilai-nilai sosial. Perwakilan dari komite sendiri sering kali ditugasi membantu menyelesaikan masalah keuangan para pekerja.

Namun kritikus sistem satu-partai Cina menyatakan bahwa mereka membiarkan negara melakukan kontrol terhadap perusahaan China. Mereka juga mengatakan bahwa tingkat kontrol itu sendiri semakin meningkat beberapa tahun terakhir.

“(Presiden) Xi Jinping memberlakukan kontrol yang lebih luas terhadap komunitas bisnis di Cina,” ujar Elliot Zaagman yang rutin memberikan masukan terhadap perusahaan-perusahaan China terkait strategi kehumasan mereka. “Sementara perusahaan-perusahaan ini semakin kuat dan berpengaruh di mancanegara, partai tak mau kehilangan kontrol terhadap mereka.”

Ren, meski demikian, berkukuh bahwa peran komite Partai Komunis di Huawei jauh lebih tidak penting dibandingkan apa yang diyakini maysrakat barat.

“(Komite itu) hanya ada untuk mengedukasi pegawai,” ujarnya. “Ia tidak terlibat dalam pembuatan keputusan bisnis.”

Di China, kebanyakan pejabat perusahaan merupakan anggota Partai Komunis.

Setiap tahun, mereka dengan patuh hadir dalam Konferensi Konsultasi Politik Rakyat Cina (CPCC) yang digelar bersamaan dengan Kongres Rakyat Nasional (NPC).

NPC dihadiri masyarakat dan ketua nasional partai, pejabat dan pemimpin perusahaan. Namun CPCC adalah tempat di mana komunitas bisnis menunjukkan komitmen mereka terhadap partai.

Menjadi anggota partai membuka kesempatan berjejaring – seperti ketika seseorang ingin bergabung dengan suatu asosiasi bisnis.

Elliot Zaagman menyatakan bahwa ini merupakan sistem yang menuntut kesetiaan.

“Tak ada pemisah antara partai dan negara,” ujarnya.

“Sistem di Cina mendorong kurangnya transparansi dalam perusahaan-perusahaan seperti Huawei.”

Kekhawatirannya adalah bahwa hubungan dekat ini mengindikasikan jika Partai Komunis meminta suatu perusahaan untuk melakukan sesuatu, maka mereka tak punya pilihan kecuali untuk mematuhinya.

Dan jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang terlibat dengan proyek infrastruktur telekomunikasi global yang sensitif, maka tak aneh masyarakat barat jadi khawatir.

Tak ada bukti untuk menunjukkan bahwa Huawei tengah diperintah oleh pemerintah Cina, atau bahwa Beijing memiliki rencana untuk mendikte rencana bisnis dan strategi Huawei – khususnya terkait upaya memata-matai.

Namun cara Partai Komunis Cina dengan kuat membela Huawei telah memunculkan berbagai pertanyaan terkait sebebas apa sebenarnya perusahaan itu dari pengaruh pemerintah.

Sebagai contoh, Beijing menyatakan bahwa penahanan Meng Wanzhou merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Dan sementara kasus ekstradisi Meng ke AS masih berjalan, Cina kini menahan dua warga Kanada dan menuduh mereka mencuri rahasia negara. Pengamat menilai penahanan itu terkait dengan penangkapan Meng.

Sumber gambar, GREG BAKER/AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Desember 2018: Patroli polisi Cina di luar Kedutaan Besar Kanada di Beijing

Meski tak berkomentar terkait penahanan warga Kanada, Ren menyatakan bahwa pembelaan Cina terhadap Huawei dapat dipahami.

“Adalah kewajiban pemerintah Cina untuk melindungi warga negaranya,” ujar Ren.

“Jika Amerika berusaha untuk unggul dengan menindas perusahaan teknologi tinggi terbaik Cina, maka tak heran jika pemerintah Cina, sebagai balasannya, melindungi perusahaan tersebut.”

“Selama beberapa tahun terakhir, telah ada banyak pertanda adanya tekanan lebih besar dari pemerintah untuk membuat perusahaan-perusahaan swasta, khususnya perusahaan teknologi, untuk bekerjasama dengan peraturan partai – bahkan ketika mereka sangat menentangnya.

Masalah perusahaan jasa antar-jemput raksasa Cina, Didi Chuxing, merupakan contoh kesulitan yang dihadapi perusahaan-perusahaan Cina ketika mereka mencoba memperjuangkan kebebasan mereka di tengah tekanan pemerintah.

Perilaku Cina terkait pengumpulan data dan kerahasiaan data berbeda dengan yang berlaku di dunia barat – banyak orang tak peduli jika perusahaan memiliki akses terhadap data mereka, dengan alasan hal itu menambah kenyamanan mereka dalam menjalani hidup dan bekerja.

Maka tidaklah aneh ketika, setelah terjadi dua kasus pembunuhan penumpang oleh pengendara Didi, anggota dewan menggunakan skandal tersebut untuk memaksa Didi membagikan lebih banyak data perusahaan dengan pemerintah. Namun Didi menolak – dengan alasan privasi konsumen. Di bawah undang-undang Cina, mereka tak punya pilihan kecuali untuk patuh.

Ketika mereka melakukannya, mereka memberikan “tiga kotak berisi data dalam bentuk kertas, termasuk 95 salinan tercetak untuk diulas aparat.”

Menurut Samm Sacks dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), kasus itu menunjukkan bahwa “akses pemerintah terhadap data di Cina tidak sebebas yang banyak orang di luar Cina pikirkan.”

Ia menyatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa ada “semacam aksi saling tarik menarik antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan terkait data.”

Bagaimana ujung dari kasus tersebut akan menentukan bagaimana pemerintah asing melihat perusahaan Cina saat berbisnis mancanegara.

Perusahaan seperti Huawei telah tumbuh dalam sebuah sistem di mana agar bisa bertahan dan menang mereka memerlukan hubungan yang kuat dengan pemerintah Cina – tak ada pilihan lain. Namun hubungan semacam ini dapat menciderai reputasi mereka di kancah dunia.

“Ini merupakan dua sistem yang berbeda,” ujar Zaagman. “Bayangkan ini seperti soket listrik. Steker Cina tidak cocok dengan soket yang ada di barat.”

“Pada dasarnya Anda ingin terhubung dengan segala sesuatu yang bisa dihubungkan.”

Zhu Peiying, kepala laboratorium jaringan nirkabel 5G Huawei, tengah menunjukkan perangkat-perangkat yang bisa terhubung dengan teknologi baru tersebut. Mulai dari sikat gigi pintar yang mengumpulkan data tentang sebaik apa Anda menyikat gigi Anda, hingga gelas pintar yang mengingatkan Anda ketika Anda sebaiknya minum air, ini adalah dunia di mana segalanya bisa diukur dan dianalisa.

Paling canggih, segalanya yang ada di dalam kota bisa dihubungkan – mobil nirkemudi, temperatur bangunan, kecepatan transportasi publik – dan masih banyak lagi.

Huawei diperkirakan lebih unggul satu tahun dibanding para pesaingnya dalam hal keahlian teknologi dan apa yang bisa ditawarkan kepada masyarakat, menurut para pakar industri.

Diperkirakan bahwa perusahaan itu juga berani menawarkan harga yang 10% lebih murah dibandingkan para pesaingnya, meski para kritikus mengklaim bahwa hal itu karena adanya sokongan pemerintah.

Ren membantah hal itu. Ia menyatakan bahwa Huawei tidak menerima subsidi pemerintah.

Ia menyatakan bahwa alasan sebenarnya di balik resistensi AS terhadap Huawei adalah teknologi lebih ungguh yang dimiliki perusahaan itu.

“Tak mungkin AS bisa mengalahkan kami,” ujarnya. “Dunia membutuhkan Huawei karena kami lebih canggih. Bahkan jika mereka membujuk lebih banyak negara untuk tidak menggunakan produk kami, untuk sementara kami bisa mengurangi volume sedikit.”

Banyak pakar menyatakan bahwa pengecualian Huawei dari jaringan AS sebenarnya dapat menyebabkan AS tertinggal dalam hal kemampuan 5G-nya.

“Ini bisa jadi berarti bahwa kita tidak akan bisa berpartisipasi dalam jaringan campuran (menggunakan Huawei) di Eropa dan Asia,” ujar Samm Sacks dari CSIS. “Hal itu akan membuat kita sangat merugi.”

Di dunia nyata, hal ini bisa berarti terciptanya dunia dengan dua internet – atau banyak pengamat menyebutnya “tirai baja digital” – memisahkan dunia ke dalam kelompok yang berbisnis dengan perusahaan-perusahaan China seperti Huawei, dan mereka yang tidak.

Akibat tekanan AS dan sekutunya, bagian hubungan masyarakat Huawei tengah gencar bergerak untuk melobi konsumen dan pihak pemerintahan asing.

Baru-baru ini, boss Vodafone Nick Read meminta AS menunjukkan bukti yang mereka miliki terkait Huawei, sementara Andrus Ansip, wakil presiden Komisi Eropa untuk pasar digital tunggal, menyatakan dalam cuitannya bahwa ia telah menemui CEO harian Huawei untuk mendiskusikan pentingnya keterbukaan dan transparansi, selagi mereka menjajaki bentuk kerjasama.

Namun kecurigaan terhadap Huawei tetap ada.

Sebuah perusahaan keamanan melaporkan adanya lonjakan pertanyaan oleh klien mereka dari pihak pemerintahan di Asia terkait Huawei.

“Beberapa di antara mereka menanyakan kepada kami apakah kekhawatiran mereka terhadap Huawei beralasan,” ujar seorang pengamat yang tak mau diketahui identitasnya, yang mengonsultasi sejumlah pemerintahan negara di Asia.

Ren optimistis terkait kekhawatiran tersebut.

“Bagi negara yang percaya mereka (yang mencurigai Huawei), kami akan menahan diri,” tuturnya. “Bagi negara yang merasa Huawei dapat dipercaya, kami akan bergerak sedikit lebih cepat. Dunia itu sangat luas. Kami tak bisa menggapai semuanya.”

Namun ini bukan hanya sekedar tentang satu perusahaan atau satu CEO dan keluarganya.

Semakin ke sini, hal ini dianggap sebagai pertarungan antara dua kekuasaan dunia, dan yang mana kah yang akan menguasai masa depan.

Pada masa-masa awal China mulai terbuka, presiden-presiden AS seperti George HW Bush mendukung manfaat terjalinnya kerjasama.

“Tak ada negara di planet bumi yang telah menemukan cara untuk mengimpor komoditas dan servis dari dunia sambil menghentikan gagasan asing di perbatasan,” ujar Bush dalam pidatonya tahun 1991 lalu.

“Persis seperti gagasan demokrat yang telah mengubah banyak negeri di setiap benua, demikian juga, perubahan mau tak mau akan terjadi di Cina.”

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, 1989: George HW Bush di Beijing – ia mendorong kerjasama ekonomi dengan Cina.

Pemerintahan-pemerintahan AS sebelumnya meyakini bahwa kerjasama ekonomi dengan Cina akan membuat Cina mengikuti jalur yang lebih bebas, lebih liberal.

Tak ada yang menyangkal bahwa Cina membuat langkah luar biasa dalam 40 tahun terakhir. Pereknomian bertumbuh dengan angka tahunan rata-rata 10% selama tiga dekade, membantu mengangkat 800 juta warganya keluar dari jurang kemiskinan. Kini, Cina merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, di bawah AS.

Beberapa pengamat memperkirakan ekonomi China akan melampaui Amerika tahun 2030 mendatang.

Mereka mencapai hal itu sambil menjaga sistem satu-partai dan supermasi Partai Komunis di sana.

Namun kesuksesan mereka menciptakan kekhawatiran bahwa hal ini hanya bisa tercapai dengan kontrol pemerintah yang sangat besar terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di sana. Yang ditakutkan, kontrol tersebut dapat digunakan untuk mewujudkan cita-cita Partai Komunis – yang belum jelas apa hingga saat ini.

“Ini adalah pedang bermata dua bagi Cina,” ujar Danielle Cave. “(Berkat undang-undang yang ada) Partai Komunis Cina membuat sebenarnya tidak mungkin perusahaan-perusahaan Cina melebarkan sayap mereka tanpa mengundang kecuriagaan yang bisa dipahami.”

Di samping itu, Cina kini menjadi lebih otoriter di bawah pemerintahan Xi Jinping.

Sumber gambar, Getty Images

“Xi secara sistemik merusak setiap sifat yang sebenarnya membuat Cina sangat berbeda dan membantunya sukses di masa lalu,” tulis Jonathan Tepperman, pemimpin redaksi Foreign Policy.

“Upayanya mungkin bisa meningkatkan kekuasaan dan martabatnya dalam jangka pendek dan mengurangi beberapa bentuk korupsi. Sebaliknya, meski demikian, kampanye Xi akan mengakibatkan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan terhadap negaranya dan dunia.”

Namun Ren menyangkal hal itu, dan berkukuh bahwa Cina kini lebih terbuka dibanding sebelumnya.

“Jika pertemuan ini terjadi 30 tahun lalu,” ia merujuk pada wawancara ini, “tentu ini sangat berbahaya bagi saya. Kini, saya bisa jujur dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit. Ini menunjukkan bahwa Cina memiliki lingkungan politik yang lebih terbuka.”

Ren juga tetap optimistis dengan arah yang dituju Cina di masa depan.

“Cina kurang lebih telah mencoba untuk menutup diri dari dunia luar selama 5.000 tahun,” ujarnya.

“Namun kita justru miskin, tertinggal dari negara-negara lain. Hanya selama 30 tahun terakhir sejak Deng Xiaoping membuka pintu Cina ke dunia luar, Cina menjadi lebih sejahtera. Untuk itu, Cina harus terus bergerak maju di jalur reformasi dan keterbukaan.”

Di salah satu sudut di kampus Huawei yang luas terbentang di kota Shenzen, terhampar sebuah danau buatan. Tampak berenang di sana dua ekor angsa hitam.

Ada kisah yang menceritakan bahwa Ren melepaskan burung-burung di sini untuk mengingatkan kejadian “angsa hitam” – bencana keuangan tak terduga dan amat menghancurkan yang tak mungkin dipersiapkan. Ia menyangkal hal itu dan menyebutnya sebagai mitos urban belaka, namun sulit untuk tidak memikirkan hal tersebut saat melihatnya.

Bagi Huawei, dan Ren, ini semua adalah waktu yang tak pasti untuk menabak apa yang akan terjadi berikutnya.