PMK No 52 Th 2018 Ttg Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan1

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2018 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tempat b. kerja yang memiliki risiko terhadap keselamatan dan c. kesehatan sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan; bahwa dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja untuk menciptakan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan yang sehat, aman, selamat, dan nyaman, perlu diselenggarakan keselamatan dan kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang 2. Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia 3. Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara 4. Republik Indonesia Nomor 2918); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang 5. Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik 6. Indonesia Nomor 5063); 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga 8. Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3992); Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309); Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942); Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 59); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja

-3- Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 945); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG FASILITAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI PELAYANAN KESEHATAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut Fasyankes adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut K3 di Fasyankes adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan agar sehat, selamat, dan bebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan, lingkungan, dan aktivitas kerja. 3. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut SMK3 di Fasyankes adalah bagian dari sistem manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan aktivitas proses kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan guna terciptanya lingkungan kerja yang sehat, selamat, aman dan nyaman. . Sumber Daya Manusia Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut SDM Fasyankes adalah semua tenaga yang bekerja di Fasyankes baik tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. 5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Pasal 2 Pengaturan K3 di Fasyankes bertujuan untuk terselenggaranya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasyankes secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan. Pasal 3 (1) Setiap Fasyankes wajib menyelenggarakan K3 di Fasyankes. (2) Jenis Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk rumah sakit. (3) Penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Penyelenggaraan K3 di Fasyankes meliputi: a. membentuk dan/atau mengembangkan SMK3 di Fasyankes; dan b. menerapkan standar K3 di Fasyankes. (2) Penyelenggaraan K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan karakteristik dan faktor risiko pada masing-masing Fasyankes.

-5- BAB II SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Pasal 5 SMK3 di Fasyankes meliputi: a. penetapan kebijakan K3 di Fasyankes; b. perencanaan K3 di Fasyankes; c. pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes; d. pemantauan dan evaluasi kinerja K3 di Fasyankes; dan e. peninjauan dan peningkatan kinerja K3 di Fasyankes. Pasal 6 (1) Kebijakan K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a ditetapkan dalam Keputusan Pimpinan Fasyankes dan disosialisasikan ke seluruh SDM Fasyankes. (2) Perencanaan K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dibuat berdasarkan manajemen risiko K3, peraturan perundang-undangan, dan persyaratan lainnya. (3) Pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c sesuai dengan standar K3 di Fasyankes dan didukung oleh sumber daya yang memadai. (4) Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dilaksanakan melalui pemeriksaaan, pengujian, pengukuran, dan/atau audit internal SMK3 di Fasyankes. (5) Peninjauan dan peningkatan kinerja K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dilakukan terhadap penetapan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pemantauan dan evaluasi.

-6- (6) Pelaksanaan SMK3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB III STANDAR KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Pasal 7 (1) Standar K3 di Fasyankes meliputi: a. pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 di Fasyankes; b. penerapan kewaspadaan standar; c. penerapan prinsip ergonomi; d. pemeriksaan kesehatan berkala; e. pemberian imunisasi; f. pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di Fasyankes; g. pengelolaan sarana dan prasarana Fasyankes dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja; h. pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja; i. kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana, termasuk kebakaran; j. pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan k. pengelolaan limbah domestik. (2) Pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui identifikasi potensi bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko. (3) Penerapan kewaspadaan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui: a. cuci tangan untuk mencegah infeksi silang; b. penggunaan alat pelindung diri;

-7- c. pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan; d. penatalaksanaan peralatan; dan e. pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan. (4) Penerapan kewaspadaan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penerapan prinsip ergonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan terhadap: a. penanganan beban manual; b. postur kerja; c. cara kerja dengan gerakan berulang; d. shift kerja; e. durasi kerja; dan f. tata letak ruang kerja. (6) Pemeriksaan kesehatan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan minimal 1 (satu) tahun sekali. (7) Pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diprioritaskan bagi SDM Fasyankes yang berisiko tinggi. (8) Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Pengelolaan sarana dan prasarana Fasyankes dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g berupa pengawasan terhadap proses pengelolaan sarana dan prasarana sesuai dengan aspek keselamatan dan kesehatan kerja. (10) Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h berupa pengawasan terhadap proses pengelolaan peralatan medis sesuai dengan aspek keselamatan dan kesehatan kerja.

-8- (11) Kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana, termasuk kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dilakukan melalui: a. identifikasi risiko koondisi darurat atau bencana; b. analisis risiko kerentanan bencana; c. pemetaan risiko kondisi darurat atau bencana; dan d. pengendalian kondisi darurat atau bencana. (12) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (13) Pengelolaan limbah domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 Pelaksanaan standar K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB IV PELATIHAN Pasal 9 (1) Dalam rangka meningkatkan pemahaman, kemampuan, dan keterampilan tentang pelaksanaan K3 di Fasyankes, dilakukan pelatihan atau peningkatan kompetensi di bidang keselamatan dan kesehatan kerja bagi sumber daya manusia di Fasyankes. (2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan standar kurikulum, modul, dan sertifikasi yang diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan. (3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau lembaga pelatihan yang terakreditasi

-9- sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB V PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 10 (1) Setiap Fasyankes wajib melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan K3 di Fasyankes secara semester dan tahunan. (2) Pencatatan dan pelaporan secara semester sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kasus yang berhubungan dengan kejadian keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Pencatatan dan pelaporan secara tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pelaksanaan kegiatan K3 di Fasyankes selama 1 (satu) tahun. (4) Mekanisme pelaporan penyelenggaraan K3 di Fasyankes dilakukan secara berjenjang dari Fasyankes, dinas kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota, dinas kesehatan pemerintah daerah provinsi, dan Kementerian Kesehatan. (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), mekanisme pelaporan Fasyankes selain Puskesmas disampaikan kepada Puskesmas yang menjadi pembina wilayahnya untuk selanjutnya disampaikan kepada dinas kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota, dinas kesehatan pemerintah daerah provinsi, dan Kementerian Kesehatan. (6) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi dengan sistem informasi pada Fasyankes sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan K3 di Fasyankes tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VI PENILAIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Pasal 11 (1) Penilaian K3 di Fasyankes dilakukan untuk evaluasi penyelenggaraan K3 di Fasyankes. (2) Penilaian K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal dan eksternal. (3) Penilaian internal K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penanggung jawab Fasyankes paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali. (4) Penilaian eksternal K3 di Fasyankes sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui akreditasi Fasyankes sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 12 (1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan K3 di Fasyankes dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan pemerintah daerah provinsi, dan kepala dinas kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi dan/atau asosiasi Fasyankes terkait. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi, sosialisasi, dan/atau bimbingan teknis; b. pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia K3 di Fasyankes; dan/atau c. monitoring dan evaluasi. (4) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan K3 di Fasyankes, Menteri, kepala dinas kesehatan pemerintah daerah provinsi, dan kepala dinas kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau tertulis kepada Fasyankes yang tidak menerapkan K3. (5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan penghargaan kepada setiap pimpinan Fasyankes, institusi Fasyankes, dan/atau orang yang telah berjasa dalam setiap kegiatan untuk mewujudkan tujuan K3 di Fasyankes. (6) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, seluruh Fasyankes harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Peraturan Menteri Pasal 14 pada tanggal diundangkan. ini mulai berlaku Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2018 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NILA FARID MOELOEK Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2019 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2018 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Untuk itu, pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, penanganan penyakit, dan pemulihan kesehatan pada pekerja. Fasyankes sebagai institusi pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat kerja yang memiliki risiko terhadap keselamatan dan kesehatan kerja baik pada SDM Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes. Potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja di Fasyankes meliputi bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi, psikososial, dan bahaya kecelakaan kerja. Potensi bahaya biologi penularan penyakit seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, parasit merupakan risiko kesehatan kerja yang paling tinggi pada Fasyankes yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja. Selain itu adanya penggunaan berbagai alat kesehatan dan teknologi di Fasyankes serta kondisi sarana dan prasarana yang tidak memenuhi standar keselamatan akan menimbulkan risiko kecelakaan kerja dari yang ringan hingga fatal. WHO pada tahun 2000 mencatat kasus infeksi akibat tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi virus diperkirakan mengakibatkan Hepatitis B sebesar 32%, Hepatitis C sebesar 40%, dan HIV sebesar 5% dari seluruh infeksi baru. Panamerican Health Organization tahun 2017 memperkirakan 8-12% SDM Fasyankes sensitif terhadap sarung tangan latex. Di Indonesia berdasarkan data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan tahun terdapat 178 petugas medis yang terkena HIV AIDS. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 85% suntikan imunisasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan ternyata tidak aman (satu jarum dipakai berulang) dan 95% petugas kesehatan mencoba ketajaman jarum dengan ujung jari. Selain itu dari hasil penelitian Start dengan Quick Investigation of Quality yang melibatkan 136 Fasyankes dan 108 diantaranya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), menunjukkan bahwa hampir semua petugas Puskesmas belum memahami dan mengetahui tentang kewaspadaan standar. Hasil penelitian lain di wilayah Jakarta Timur yang dilakukan oleh Sri Hudoyo (2004) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan petugas menerapkan setiap prosedur tahapan kewasdapaan standar dengan benar hanya 18.3%, dengan status vaksinasi Hepatitis B pada petugas Puskesmas masih rendah yaitu 12,5%, dan riwayat pernah tertusuk jarum bekas yaitu 84,2%. Kasus terjadinya kecelakaan kerja yang fatal pada Fasyankes pernah beberapa kali terjadi seperti kasus tersengat listrik, kebakaran, terjadinya banjir, bangunan runtuh akibat gempa bumi dan kematian petugas kesehatan karena keracunan gas CO di Fasyankes. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan peningkatan upaya keselamatan dan kesehatan kerja di Fasyankes. Selain itu berdasarkan peraturan perundang-undangan terdapat hak bagi setiap orang untuk mendapatkan perlindungan atas risiko terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, demikian juga bagi SDM Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes. Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan ini diharapkan Fasyankes dapat menyelenggarakan K3 di Fasyankes secara berkesinambungan sehingga tujuan dari upaya keselamatan dan kesehatan kerja dapat tercapai dengan baik. B. Tujuan 1. Memberikan acuan kepada Fasyankes dalam menyelenggarakan K3 di Fasyankes. 2. Menciptakan Fasyankes yang sehat, aman, dan nyaman bagi SDM Fasyankes, pasien, pengunjung, maupun lingkungan Fasyankes melalui penyelenggaraan K3 secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan, sehingga proses pelayanan berjalan baik dan lancar. C. Sasaran 1. Pimpinan dan/atau manajemen Fasyankes 2. SDM Fasyankes 3. Pasien 4. Pengunjung/pengantar pasien BAB II PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Untuk melindungi keselamatan dan kesehatan SDM di Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes, Fasyankes wajib membentuk dan mengembangkan SMK3 di Fasyankes dan menerapkan Standar K3 di Fasyankes. A. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 1. Penetapan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dalam pelaksanaan K3 di Fasyankes harus ada komitmen dari pimpinan tertinggi Fasyankes yang dituangkan dalam kebijakan tertulis dan ditandatangani oleh pimpinan tersebut. Kebijakan tersebut dapat terintegrasi dalam kebijakan Fasyankes keseluruhan. Komitmen dan kebijakan tertulis tentang K3 di Fasyankes harus diketahui oleh semua SDM Fasyankes dan terbaca oleh pengunjung serta diletakan di tempat strategis yang bisa dilihat semua orang. Komitmen Fasyankes dalam melaksanakan K3 di Fasyankes diwujudkan dalam bentuk: a. Penetapan Kebijakan dan Tujuan Program K3 di Fasyankes Secara Tertulis Kebijakan dan tujuan Program K3 di Fasyankes ditetapkan oleh pimpinan tertinggi Fasyankes dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Kebijakan tersebut harus mudah dan mengerti serta diketahui oleh seluruh manajemen Fasyankes (pimpinan dan SDM Fasyankes), pasien, pendamping pasien, pengunjung, masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes, serta pihak lain sesuai dengan tata cara yang tepat. Selain itu semua pihak di Fasyankes bertanggung jawab mendukung dan menerapkan kebijakan pelaksanaan K3 di Fasyankes tersebut, serta prosedur-prosedur yang berlaku di Fasyankes selama berada di lingkungan Fasyankes. Kebijakan K3 di Fasyankes harus disosialisasikan dengan berbagai upaya baik pada saat rapat pimpinan, rapat koordinasi, dan rapat lainnya, maupun melalui spanduk, banner, poster, audiovisual, dan lain-lain. Bagi Fasyankes berupa praktik mandiri tenaga kesehatan, sosialisasi kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) seperti banner, poster ataupun leaflet. Contoh komitmen Fasyankes dalam menyelenggarakan K3 di Fasyankes sebagai berikut: (LOGO DAN KOP FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN) Kami berkomitmen untuk: a. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan dan orang lain (pasien, pengunjung, pendamping pasien, maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan). b. Memenuhi semua peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang berkaitan dengan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja. c. Melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap manajemen dan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan guna meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja yang baik di tempat kerja. Untuk mewujudkan komitmen kami, maka kami akan: a. Membangun dan memelihara manajemen keselamatan dan kesehatan kerja berkelanjutan serta sumber daya yang relevan. b. Membangun tempat kerja dan pekerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya terkait keselamatan dan kesehatan kerja. c. Menyediakan sumber daya untuk mendukung pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan. d. Memberikan pendidikan ataupun pelatihan terkait keselamatan dan kesehatan kerja kepada sumber daya fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja. Tempat, Tanggal Nama dan Tanda Tangan b. Pengorganisasian Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Untuk terselenggaranya K3 di Fasyankes secara optimal, efektif, efisien, dan berkesinambungan, Fasyankes dapat membentuk Tim K3 di Fasyankes atau menunjuk satu orang sebagai pengelola K3 di Fasyankes tersebut. Dalam hal Fasyankes berupa praktik mandiri tenaga kesehatan yang hanya terdapat 1 (satu) sumber daya manusia, maka yang bersangkutan adalah pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan K3 di Fasyankes. Tim K3 di Fasyankes ditetapkan dengan Surat Keputusan Pimpinan Fasyankes yang memuat susunan organisasi, uraian tugas, dan tanggung jawab. Tugas tim K3 di Fasyankes antara lain sebagai berikut: 1) Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data terkait K3 di Fasyankes. 2) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada Pimpinan yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes. 3) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes. 4) Merumuskan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, dan standar prosedur operasional. 5) Melaksanakan program K3 di Fasyankes. 6) Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disampaikan kepada seluruh SDM Fasyankes. 7) Membantu pimpinan Fasyankes dalam menyelenggarakan SMK3 di Fasyankes, promosi, penelitian sederhana, dan pelatihan terkait K3 di Fasyankes. 8) Melakukan investigasi dalam setiap kejadian penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja. 9) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru dan pembangunan gedung, serta pemeliharaannya. 10) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan K3 di Fasyankes. 11) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3 di Fasyankes. Untuk penanggung jawab K3 di Fasyankes yang bukan dalam bentuk tim, antara lain memiliki tugas sebagai berikut: 1) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes. 2) Melaksanakan program K3 di Fasyankes. 3) Mengumpulkan, mengolah, menganalisis data terkait K3 di Fasyankes, dan menginformasikan kepada seluruh SDM Fasyankes. 4) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada pimpinan Fasyankes yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes. 5) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3 di Fasyankes. 2. Perencanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fasyankes harus membuat perencanaan K3 di Fasyankes yang efektif agar tercapai keberhasilan penyelenggaraan K3 di Fasyankes dengan sasaran yang jelas dan terukur. Penyusunan perencanaan K3 di Fasyankes harus memperhatikan peraturan perundang-undangan, kondisi yang ada, dan berdasarkan hasil identifikasi risiko yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan K3 di Fasyankes ditetapkan oleh pimpinan Fasyankes dengan mengacu pada kebijakan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya perencanaan K3 di Fasyankes tersebut diterapkan dalam rangka mengendalikan potensi bahaya dan risiko K3 di Fasyankes. Cotoh penyusunan identifikasi risiko, dapat mengacu pada tabel berikut: Tabel 1. Contoh Identifikasi atau Pemetaan Risiko Berdasarkan identifikasi risiko tersebut, selanjutnya Fasyankes membuat perencanaan K3 di Fasyankes. Contoh penyusunan perencanaan K3 di Fasyankes dapat melihat tabel berikut: Tabel 2. Contoh Perencanaan Kegiatan K3 di Fasyankes Selama Setahun atau Lima Tahun Kegiatan Lokasi Penanggung Pelaksana Waktu Keterangan Jawab Sosilasiasi Ruang Tim K3 Jumat, Waktu Pencegahan Poli Kepala Poli Infeksi 20 kegiatan Infeksi UGD terkait Agustus disesuaikan Pelayanan 2018 Kesehatan Pukul 14.00 s/d selesai dan lain- lain . Pelaksanaan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes dilaksanakan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan dan merupakan bagian pengendalian risiko K3. Pelaksanaan K3 di Fasyankes sesuai dengan standar K3 di Fasyankes yang meliputi: a. Pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 di Fasyankes; b. Penerapan kewaspadaan standar; c. Penerapan prinsip ergonomi; d. Pemeriksaan kesehatan berkala; e. Pemberian imunisasi bagi SDM Fasyankes yang berisiko; f. Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di tempat kerja; g. Pengelolaan sarana dan prasarana dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja; h. Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja; i. Kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana, termasuk kebakaran (emergency response plan); j. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan k. Pengelolaan limbah domestik. 4. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kemajuan program K3 di Fasyankes dipantau secara periodik guna dapat ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai dengan risiko yang telah teridentifikasi dan mengacu kepada rekaman sebelumnya serta pencapaian sasaran K3 di Fasyankes yang lalu. Pemantauan K3 di Fasyankes antara lain dapat dilakukan melalui: a. Inspeksi (melihat, mengenali potensi risiko) tempat kerja secara teratur. b. Inspeksi yang dilaksanakan oleh Tim K3/pengelola K3 di Fasyankes. c. Masukan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa. d. Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat inspeksi. e. Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektivitasnya. f. Laporan inspeksi yang diajukan kepada pimpinan Fasyankes atau penanggung jawab Fasyankes. Evaluasi kegiatan dapat dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam setahun untuk melihat capaian program berdasarkan rencana kegiatan tahunan. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi, pimpinan Fasyankes bertanggung jawab menetapkan hasil pemantauan dan evaluasi serta melaksanaan tindakan perbaikan dari hasil laporan pemantauan dan evaluasi. 5. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Peninjauan dilakukan setiap tahun terhadap kinerja K3 di Fasyankes. Peninjauan dilakukan untuk menjamin kesesuaian dan efektifitas penyelenggaraan K3 di Fasyankes. Peninjauan dilakukan terhadap kebijakan, perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pemantauan dan evaluasi. Berdasarkan hasil peninjauan, dilakukan perbaikan dan peningkatan kinerja K3 di Fasyankes. Kinerja K3 di Fasyankes dituangkan dalam indikator kinerja yang akan dicapai dalam setiap tahun. Indikator kinerja K3 di Fasyankes dapat ditentukan sesuai dengan permasalahan yang ada di Fasyankes tersebut. Indikator yang dapat dipakai antara lain: a. Adanya komitmen dan kebijakan pimpinan Fasyankes yang dituangkan dalam lembar komitmen. b. Adanya Surat Keputusan Tim K3 di Fasyankes atau Penunjukan pengelola K3 di Fasyankes. c. Adanya rencana kerja terkait K3 di Fasyankes. d. Adanya dukungan sumber daya terlatih, alokasi dana, sarana dan prasarana peralatan penunjang K3 di Fasyankes. e. Adanya standar prosedur operasional yang memenuhi prinsip keselamatan dan kesehatan kerja dalam pelaksanaan kegiatan. f. Adanya standar K3 di Fasyankes yang telah dilaksanakan oleh Fasyankes. g. Adanya peningkatan kapasitas dan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja bagi SDM Fasyankes. h. Dilaksanakannya pencatatan dan pelaporan terkait K3 di Fasyankes. Hasil peninjauan dan perbaikan kinerja K3 di Fasyankes tersebut dapat dibandingkan setiap tahun untuk melihat kemajuan program K3 di Fasyankes. B. Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 1. Pengenalan Potensi Bahaya dan Pengendalian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan a. Pengenalan Potensi Bahaya Pengenalan potensi bahaya adalah suatu upaya mengenali atau mengidentifikasi potensi bahaya yang dapat berdampak pada SDM Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Pengenalan potensi bahaya bertujuan agar SDM Fasyankes dapat melakukan pengendalian risiko dengan benar sehingga terhindar dari berbagai masalah kesehatan yang diakibatkan pekerjaannya yakni penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja. Berikut adalah contoh potensi bahaya yang ada di suatu Fasyankes: Tabel 3. Contoh Potensi Bahaya di Fasyankes Berdasarkan Ruangan Identifikasi potensi bahaya dapat dilakukan oleh pengelola keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu perlu adanya peningkatan kompetensi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja bagi pengelola. b. Penilaian Risiko Risiko harus dilakukan analisis dan evaluasi risiko untuk mengetahui mana yang risiko tinggi, sedang dan rendah. Hasil penilaian dilakukan intervensi atau pengendalian. Intervensi terhadap risiko mempertimbangkan pada kategori risiko yang tinggi. Untuk mengetahui kategori risiko tinggi, sedang, atau rendah secara teori dilakukan dengan rumus: Risiko = Efek x Probabilitas Analisa risiko dapat dilakukan dengan metode kualitatif dengan melihat efek bahaya potensial (efek) dan kemungkinan terjadinya (probabilitas). Efek paparan dapat dikategorikan menjadi ringan, sedang, berat (Tabel 4). Probabilitas dapat dibedakan menjadi hampir tidak mungkin, mungkin, dan sangat mungkin (Tabel 5). Untuk mengetahui kategori risiko sesuai rumus di atas dapat dilihat pada Tabel 6. Secara sederhana risiko tinggi dapat dilihat dan diketahui dari seberapa sering (frekuensi) paparan tersebut kepada SDM Fasyankes dan durasi (lama) paparan pada SDM Fasyankes. Contoh yang termasuk kategori risiko tinggi di Fasyankes adalah tertusuk jarum suntik dan bahaya faktor biologi seperti bakteri, virus, jamur. Ruang risiko tinggi pada Fasyankes terjadi pada karyawan di ruang poli umum, UGD, dan poli gigi. Tabel 4. Kategori Dampak/Konsekuensi Dampak/ Efek Pada Pekerja Konsekuensi Sakit atau cedera yang hanya Ringan membutuhkan P3K dan tidak terlalu Sedang mengganggu proses kerja Berat Gangguan kesehatan dan keselamatan yang lebih serius dan membutuhkan penanganan medis, seperti alergi, dermatitis, low back pain, dan menyebabkan pekerja absen dari pekerjaannya untuk beberapa hari Gangguan kesehatan dan keselamatan yang sangat serius dan kemungkinan terjadinya cacat permanen hingga kematian, contohnya amputasi, kehilangan pendengaran, pneumonia, keracunan bahan kimia, kanker Tabel 5. Kategori Kemungkinan/Probabilitas Kemungkinan/ Deskripsi Probabilitas Tidak terjadi dampak buruk Tidak mungkin terhadap kesehatan dan Mungkin keselamatan Sangat Mungkin Ada kemungkinan bahwa dampak buruk terhadap kesehatan dan keselamatan tersebut terjadi saat ini Sangat besar kemungkinan bahwa dampak buruk terhadap kesehatan dan keselamatan terjadi saat ini Tabel 6. Matriks Risiko Matriks Risiko Dampak/keparahan Kemungkinan Tidak Ringan Sedang Berat (Probabilitas) mungkin Risiko Risiko Risiko rendah rendah sedang Mungkin Risiko Risiko Risiko Sangat rendah sedang tinggi mungkin Risiko Risiko Risiko sedang tinggi tinggi Setelah dilakukan penilaian risiko, perlu dilakukan pengendalian risiko berdasarkan skala prioritas tingkat risiko sebagaimana tertera pada tabel berikut. Tabel 7. Skala Tingkat Risiko Tingkat Deskripsi Pengendalian Risiko Prioritas 3 Ada kemungkinan rendah Prioritas 2 Risiko bahwa cedera atau gangguan Prioritas 1 rendah kesehatan minor terjadi saat ini, dengan dampak kesehatan Risiko yang ringan hingga sedang sedang Konsekuensi atau keparahan dari cedera dan gangguan Risiko kesehatan tergolong kategori tinggi serius meskipun probabilitas kejadiannya rendah Kemungkinan besar terjadi gangguan kesehatan dan cedera yang moderate atau serius atau bahkan kematian. Berikut terlampir contoh kategori risiko K3 di Fasyankes berdasarkan ruang yang harus dilakukan pengendalian risiko, namun penggunaannya harus di sesuaikan dengan penilaian dan analisis risiko yang ada di ruang Fasyankes setempat. Tabel 8. Contoh Kategori Risiko Berdasarkan Ruangan Keterangan tabel: Penetapan risiko tersebut di atas merupakan gambaran umum namun dapat berbeda antar Fasyankes. Fasyankes dalam melakukan penilaian risiko dapat menggunakan tools lain sebagai rujukan seperti JSA (Job safety Analysis), dan apabila terjadi kasus menggunakan RCA (Rood Cause Analysis) dan FMEA (Failure mode and effect analysis). c. Pengendalian Risiko K3 Pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya pengendalian potensi bahaya yang ditemukan di tempat kerja. Pengendalian risiko perlu dilakukan sesudah menentukan prioritas risiko. Metode pengendalian dapat diterapkan berdasarkan hierarki dan lokasi pengendalian. Hierarki pengendalian merupakan upaya pengendalian mulai dari efektivitas yang paling tinggi hingga rendah, sebagai berikut: Gambar 1. Hierarki Pengendalian Risiko K3 dari NIOSH (National Institute For Occupational Safety and Health) Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian: 1) Eliminasi Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang menjadi pilihan pertama untuk mengendalikan pajanan karena menghilangkan bahaya dari tempat kerja. Namun, beberapa bahaya sulit untuk benar-benar dihilangkan dari tempat kerja. 2) Substitusi Subtitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat atau cara kerja dengan alternatif lain dengan tingkat bahaya yang lebih rendah sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya dampak yang serius. Contohnya: a) Mengganti tensi air raksa dengan tensi digital b) Mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi dengan tipe yang kebisingan rendah (tipe silent kompresor) 3) Pengendalian Teknik Pengendalian teknik merupakan pengendalian rekayasa desain alat dan/atau tempat kerja. Pengendalian risiko ini memberikan perlindungan terhadap pekerja termasuk tempat kerjanya. Untuk mengurangi risiko penularan penyakit infeksi harus dilakukan penyekatan menggunakan kaca antara petugas loket dengan pengunjung/pasien. Contoh pengendalian teknik yaitu: untuk meredam suara pada ruang dengan tingkat bising yang tinggi seperti: a) Pada poli gigi khususnya menggunakan unit dental dan kompresor b) Pada ruang genset 4) Pengendalian Administrasi Pengendalian administrasi berfungsi untuk membatasi pajanan pada pekerja. Pengendalian administrasi diimplementasikan bersamaan dengan pengendalian yang lain sebagai pendukung. Contoh pengendalian administrasi diantaranya: a) Pelatihan/sosialisasi/penyuluhan pada SDM Fasyankes b) Penyusunan prosedur kerja bagi SDM Fasyankes c) Pengaturan terkait pemeliharaan alat d) Pengaturan shift kerja 5) Alat Pelindung Diri Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam mengendalikan risiko keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting, khususnya terkait bahaya biologi dengan risiko yang paling tinggi terjadi, sehingga penggunaan APD menjadi satu prosedur utama di dalam proses asuhan pelayanan kesehatan. APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber daya manusia dari potensi bahaya di Fasyankes. Alat pelindung diri tidak mengurangi pajanan dari sumbernya, hanya saja mengurangi jumlah pajanan yang masuk ke tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya melindungi individu) dan spesifik (setiap alat memiliki spesifikasi bahaya yang dapat dikendalikan). Implementasi APD seharusnya menjadi komplementer dari upaya pengendalian di atasnya dan/atau apabila pengendalian di atasnya belum cukup efektif. Jenis-jenis APD yang dapat tersedia di Fasyankes sesuai dengan kebutuhan sebagai berikut: a) Penutup kepala (shower cap) b) Kacamata Khusus (safety goggle) c) Pelindung wajah (face shield) d) Masker e) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan karet) f) Jas Lab dan Apron (apron/jas lab) g) Pelindung kaki (safety shoes dan sepatu boots) h) Coverall Contoh penggunaan APD dan lokasi penggunaannya dapat melihat tabel berikut: Tabel 9. APD dan Lokasi Pemakaian No APD Lokasi Pemakaian APD 1. Penutup kepala 2. Kacamata khusus Laboratorium, ruang 3. Pelindung wajah 4. Masker sterilisasi, ruang tindakan, 5. Apron ruang KIA, dapur 6. Sarung tangan Laboratorium, ruang tindakan dokter gigi, ruang sterilisasi, ruang insersi IUD, pertolongan persalinan, ruang pembuatan kacamata Laboratorium, ruang tindakan dokter gigi, ruang persalinan Ruang persalinan, ruang tindakan untuk kasus infeksi, balai pengobatan, ruang tindakan dokter gigi, balai pengobatan, laboratorium, loket, ruang rekam medik, ruang farmasi, dapur, cleaning service, ruang pembuatan kacamata, unit transfusi darah Ruang sterilisasi, ruang persalinan, radiologi, ruang tindakan dokter gigi, ruang tindakan untuk kasus infeksi Ruang tindakan, ruang KIA, ruang tindakan dokter gigi, ruang sterilisasi, laboratorium, dapur, cleaning service, optik, ruang farmasi, unit tansfusi darah No APD Lokasi Pemakaian APD 7. Sepatu boot Tempat pembuangan limbah, 8. Jas lab 9. Coverall ruang laundry, pertolongan persalinan Ruang farmasi, laboratorium Ruang observasi khusus dalam pelayanan kekarantinaan kesehatan Untuk faktor risiko biologi yang sangat infeksius dan bahan kimia, dapat menggunakan bentuk APD secara lengkap atau merujuk pada juknis terkait. Berikut penjelasan masing-masing APD beserta contoh gambar APD: a) Penutup Kepala (shower cap) Alat penutup kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari jatuhnya mikroorganisme yang ada dirambut dan kulit kepala petugas terhadap alat- alat/daerah steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari percikan bahan–bahan dari pasien. Gambar 2. Penutup Kepala b) Penutup Teling (ear muff atau ear plug) Penggunan APD penutup telinga di Fasyankes dalam proses pemberian asuhan pelayanan kesehatan jarang digunakan. Penggunaan lebih sering jika ada sumber bising di atas Nilai Ambang Batas (85 dba) seperti di unit ganset, proses pembangunan, dan lainnya. Gambar 3. Penutup Telinga c) Kacamata Khusus (safety goggle) Kacamata khusus (safety google) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi mata dari paparan bahan kimia berbahaya, percikan darah dan cairan tubuh, uap panas, sinar UV dan pecahan kaca (scrub). Gambar 4. Kacamata Khusus d) Pelindung wajah (face shield) Alat pelindung wajah adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi wajah dari terpapar cairan tubuh, darah, dan percikan bahan-bahan kimia. Gambar 5. Pelindung Wajah e) Masker Masker atau alat pelindung pernafasan adalah alat yang berfungsi untuk melindungi pernafasan dari mikrobakterium dan virus yang ada di udara, dan zat- zat kimia yang digunakan. Bagi SDM Fasyankes yang menggunakan respirator harus dilatih untuk menggunakan dan memelihara respirator khusus secara tepat. SDM Fasyankes harus tahu keterbatasan dan pengujian kecocokan respirator secara tepat, minimal masker dengan tipe N95 atau masker yang dapat memproteksi SDM dari paparan risiko biologi maupun kimia. Gambar 6. Masker dan respirator f) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan bahan karet, kain) Sarung tangan adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tangan dari darah dan cairan tubuh, zat- zat kimia yang digunakan, dan limbah yang ada. Gambar 7. Sarung tangan g) Pelindung Kaki (sepatu boots, safety shoes) Alat pelindung kaki adalah alat yang berfungsi untuk melindungi kaki dari darah, cairan tubuh, zat- zat kimia yang digunakan, benturan benda keras dan tajam, serta limbah yang ada. SDM Fasyankes yang berdiri dalam jangka waktu lama ketika bekerja, perlu sepatu yang dilengkapi bantalan untuk menyokong kaki. SDM Fasyankes yang bekerja dan berhadapan dengan pekerjaan dengan risiko cidera akibat dari kejatuhan benda keras yang mengenai jari kaki disarankan memakai sepatu dengan ujung yang keras. Gambar 8. Alas kaki h) Jas Lab dan Apron Jas lab dan apron adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari darah dan cairan tubuh, zat-zat kimia yang digunakan, dan limbah yang ada. Gambar 9. Apron i) Coverall Coverall adalah alat yang berfungsi untuk melindungi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki dari penularan melalui percikan darah ataupun cairan tubuh sangat infeksius yang masuk melalui mucous membrane atau luka. Penyediaan APD ini diutamakan pada Fasyankes yang melakukan pelayanan dengan kasus karantina atau Fasyankes dengan pandemic wabah, radiasi dan paparan bahan kimia yang sangat toksik Gambar 10. Coverall 2. Penerapan Kewaspadaan Standar Penerapan kewaspadaan standar merupakan suatu upaya pencegahan terhadap penularan infeksi dan paparan bahan kimia dalam perawatan pasien di Fasyankes. Penerapan kewaspadaan standar ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan menteri kesehatan yang mengatur mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi di Fasyankes. 3. Penerapan Prinsip Ergonomi Tujuan penerapan ergonomi adalah agar SDM Fasyankes dapat bekerja secara aman, nyaman, sehat, efektif, efisien dan produktif. SDM Fasyankes berpotensi mengalami cedera dari bahaya ergonomi pada saat penanganan (handling), mengangkat, mendorong, dan memindahkan atau merubah posisi, duduk tidak ergonomis, posisi berdiri lama, posisi statis, gerakan berulang dan posisi yang tidak ergonomi. Risiko ergonomi di Fasyankes terkait erat dengan reposisi pasien dari tempat tidur ke tempat tidur lain, dari kursi ke tempat tidur, dari lantai ke tempat tidur, transportasi pasien, termasuk membersihkan dan memandikan pasien, pemberian asuhan pelayanan dan tindakan medis seperti tindakan operasi, pelayanan kesehatan gigi, pelayanan kebidanan dan lain lain. Penerapan prinsip ergonomi merupakan upaya penyesuaian pekerjaan dengan manusia, serta bagaimana merancang tugas, pekerjaan, peralatan kerja, informasi, serta fasilitas di lingkungan kerja. Ruang lingkup yang harus dilaksanakan sesuai persyaratan ergonomi di Fasyankes meliputi: a. Penanganan Beban Manual (Manual Handling) Standar berat objek yang boleh diangkat secara manual tergantung dari letak obyek berada, dengan rincian sebagai berikut: Penanganan beban manual di Fasyakes sebagian besar terkait dengan kegiatan memindahkan pasien (mengangkat, mendorong dan memindahkan), contoh kegiatan memindahkan pasien di tempat tidur sesuai dengan prosedur sebagai berikut: ) Sesuaikan tinggi tempat tidur dengan pinggang 2) Pastikan tempat tidur/brankar terkunci 3) Badan tidak melintir sebagian dalam menolong, putar badan secara keseluruhan 4) Tekuk kaki untuk penyesuaian bukan membungkukkan punggung (tulang punggung posisi netral) 5) Ukur kemampuan untuk menolong, upayakan ada penolong atau bantuan. b. Postur Kerja Postur kerja dalam memberikan asuhan pelayanan di Fasyankes merupakan salah satu faktor risiko ergonomi yang menyebabkan gangguan kesehatan jika tidak melakukan proses kerja yang ergonomi. Postur kerja dalam keadaan duduk harus memperhatikan beberapa hal berikut agar dapat bekerja dengan nyaman: 1) Pada saat duduk, posisikan siku sama tinggi dengan meja kerja, lengan bawah horizontal dan lengan atas menggantung bebas. 2) Atur tinggi kursi sehingga kaki Anda bisa diletakkan di atas lantai dengan posisi datar. Jika diperlukan gunakan footrest terutama bagi SDM yang bertubuh mungil. 3) Sesuaikan sandaran kursi sehingga punggung bawah Anda ditopang dengan baik. 4) Atur meja kerja supaya mendapatkan pencahayaan yang sesuai. Hal ini untuk menghindari silau, pantulan cahaya dan kurangnya pencahayaan dengan Nilai Ambang Batas peruntukan pekerjaan yang dilakukan. 5) Pastikan ada ruang yang cukup di bawah meja untuk pergerakan kaki. 6) Hindari tekanan berlebihan dari ujung tempat duduk pada bagian belakang kaki dan lutut. 7) Letakkan semua dokumen dan alat yang diperlukan dalam jangkauan Anda. Penyangga dokumen (document holder), alat dan bahan dapat digunakan untuk menghindari pergerakan mata dan leher yang janggal. Postur kerja dalam keadaan posisi duduk tersebut selengkapnya dapat mengacu kepada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai standar keselamatan dan kesehatan kerja perkantoran. Postur kerja dalam keadaan berdiri harus memperhatikan beberapa hal berikut: 1) Postur berdiri yang baik adalah posisi tegak garis lurus pada sisi tubuh mulai dari telinga bahu pinggul dan mata kaki. 2) Posisi berdiri sebiknya berat badan bertumpu secara seimbang dua kaki 3) Postur berdiri sebaiknya tidak dilakukan dalam jangka waktu yang lama (+ ) Lakukan olahraga seperti senam, berenang, joging secara teratur untuk meningkatkan dan mempertahankan kekuatan fisik. c. Cara Kerja Dengan Gerakan Berulang Gerakan berulang yaitu: 1) Pekerjaan manual handling dilakukan jika >12x per menit dengan beban 20x permenit, contoh: petugas administrasi, petugas farmasi, dokter gigi, perawat. Untuk mengurangi gerakan berulang merancang kembali cara dan prosedur kerja yang lebih efektif, meningkatkan waktu jeda antara aktifitas pengulangan atau mengganti dengan pekerjaan yang lain. d. Shift Kerja Shift kerja harus memperhatikan durasi kerja yang sesuai dengan peraturan yaitu 40 jam per minggu, sehingga shift kerja yang disarankan sebaiknya yang 3 shift dengan masing-masing shift 8 jam kerja selama 5 hari kerja per minggu atau sesuai peraturan yang ada. e. Durasi Kerja Durasi kerja untuk setiap karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain: 1) 7 (tujuh) jam 1 (hari) dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (hari) dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 2) Jika terdapat kerja lembur harus mendapat persetujuan sumber daya manusia yang bersangkutan dengan ketentuan waktu kerja lembur paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Aktivitas rutin setiap 2 jam kerja sebaiknya diselingi peregangan. f. Tata Letak Ruang Kerja Setiap ruang kerja harus dibuat dan diatur sedemikian rupa, sehingga tiap sumber daya manusia yang bekerja dalam ruangan itu mendapat ruang udara yang minimal 10 m3 dan sebaiknya 15m3. Tata letak ruang kerja di Fasyankes harus memperhatikan house keeping yang baik, diantaranya: 1) Pelaksanaan Pemeliharaan dan Perawatan Ruang Kerja Lantai bebas dari bahan licin, cekungan, miring, dan berlubang yang menyebabkan kecelakan dan cidera pada SDM Fasyankes. 2) Desain Alat dan Tempat Kerja a) Penyusunan dan penempatan lemari peralatan dan material kerja tidak mengganggu aktifitas lalu lalang pergerakan SDM Fasyankes. b) Penyusunan dan pengisian lemari peralatan dan material kerja yang berat berada di bagian bawah. c) Dalam pengelolaan benda tajam, sedapat mungkin bebas dari benda tajam, serta siku-siku lemari peralatan dan material kerja maupun benda lainnya yang menyebabkan SDM Fasyankes cidera. 3) Pengelolaan Listrik dan Sumber Api Dalam pengelolaan listrik dan sumber api, terbebas dari penyebab elektrikal syok. Prosedur kerja yang aman di ruang kerja Fasyankes harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Dilarang berlari di ruang kerja. b) Semua yang berjalan di lorong ruang kerja dan di tangga diatur berada sebelah kiri. c) Sumber daya manusia yang membawa tumpukan barang yang cukup tinggi atau berat harus menggunakan troli dan tidak boleh naik melalui tangga tapi menggunakan lift barang bila tersedia. d) Tangga tidak boleh menjadi area untuk menyimpan barang, berkumpul, dan segala aktivitas yang dapat menghambat lalu lalang. e) Bahaya jatuh dapat dicegah melalui kerumahtanggaan Fasyankes yang baik, cairan tumpah harus segera dibersihkan dan potongan benda yang terlepas dan pecahan kaca harus segera diambil. f) Bahaya tersandung dapat diminimalkan dengan segera mengganti ubin rusak dan karpet usang. g) Menggunakan listrik dengan aman. 4. Pemeriksaan Kesehatan Berkala Pemeriksaan kesehatan bagi SDM Fasyankes dilakukan untuk menilai status kesehatan dan penemuan dini kasus penyakit baik akibat pekerjaan maupun bukan akibat pekerjaan, serta mencegah penyakit menjadi lebih parah. Selain itu, pemeriksaan kesehatan juga bertujuan untuk menentukan kelaikan bekerja bagi SDM Fasyankes dalam menyesuaikan pekerjaannya dengan kondisi kesehatannya (fit to work). Pemeriksaan kesehatan berkala dilakukan minimal 1 (satu) tahun sekali dengan memperhatikan risiko pekerjaannya. Penentuan parameter jenis pemeriksaan kesehatan berkala disesuaikan dengan jenis pekerjaan, proses kerja, potensi risiko gangguan kesehatan akibat pekerjaan dan lingkungan kerja. 5. Pemberian Imunisasi Pemberian imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit. SDM Fasyankes memiliki risiko tertular penyakit infeksi seperti Hepatitis, Influenza, Varicella, dan lain lain. Beberapa penyakit infeksi dapat dicegah dengan imunisasi. SDM Fasyankes harus mendapatkan imunisasi khusunya pada SDM Fasyankes yang memiliki risiko tinggi. Pemberian imunisasi diprioritaskan untuk imunisasi Hepatitis B, karena tingginya risiko penularan Hepatitis B pada SDM Fasyankes. . Pembudayaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Fasyankes adalah upaya untuk membudayakan SDM Fasyankes agar mempraktikkan PHBS serta berperan aktif dalam mewujudkan Fasyankes yang sehat. PHBS di tempat kerja antara lain: a. Menerapkan peraturan dan prosedur operasi kerja b. Menggunakan Alat Pelindung Diri sesuai pekerjaannya c. Tidak merokok di tempat kerja d. Melakukan aktivitas fisik dan olahraga secara teratur e. Mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat f. Menggunakan air bersih g. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir h. Membuang sampah pada tempatnya i. Menggunakan jamban saat buang air besar dan buang air kecil j. Tidak mengonsumsi NAPZA k. Tidak meludah sembarang tempat l. Memberantas jentik nyamuk 7. Pengelolaan Sarana dan Prasarana dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pengelolaan sarana dan prasarana Fasyankes dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dengan memastikan kekuatan sarana dan prasarana atau sistem utilitas dan meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi. Aspek keselamatan dan kesehatan kerja pada sarana dan prasarana mencakup pengawasan dan pemeliharaan pada komponen-komponen sarana (gedung), prasarana (jaringan dan sistem). a. Pengelolaan Sarana dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja 1) Memastikan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan sesuai dengan peraturan yang berlaku. ) Memastikan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. a) Alat Pemadam Api Ringan (APAR) Persyaratan Penempatan APAR: (1) Jarak tempuh penempatan APAR dari setiap tempat atau titik dalam bangunan harus tidak lebih dari 25 m. (2) Mudah terlihat, termasuk instruksi pengoperasiannya dan tanda identifikasinya. (3) Mudah dicapai (tidak terhalang oleh peralatan atau material-material). (4) APAR diletakkan di atau dekat koridor atau lorong yang menuju exit. (5) APAR diletakkan dekat dengan area yang berpotensi bahaya kebakaran, akan tetapi tidak terlalu dekat karena bisa rusak oleh sambaran api (6) Tempatkan APAR sesuai dengan karakteristik tempat. (7) Hindari tempat yang menyebabkan korosif. (8) Jika di luar ruangan, APAR terlindungi dari kerusakan. (9) Dalam area khusus, apabila bahan yang disimpan mudah terbakar di dalam ruangan yang kecil atau tempat tertutup, tempatkan APAR di luar ruangan. (10) Kapasitas APAR minimal 2 kg dengan ketentuan sekurang-kurangnya 1 (satu) buah APAR untuk ruangan tertutup dengan luas tidak lebih dari 25m2 dan minimal 2 (dua) buah APAR kimia untuk luas tempat parkir tidak melebihi 270 m2. (11) Setiap SDM Fasyankes mampu menggunakan APAR sesuai standar prosedur operasional yang tersedia di tabung APAR dan melakukan pemantauan kondisi dan masa pakai secara berkala minimal 2 kali dalam setahun. (12) Pemasangan APAR ditentukan sebagai berikut: (a) Dipasang pada dinding atau dalam lemari kaca disertai palu pemecah dan dapat dipergunakan dengan mudah pada saat diperlukan. (b) Dipasang sedemikian rupa sehingga bagian paling atas berada pada ketinggian maksimum 120 cm dari permukaan lantai, kecuali untuk jenis CO2 dan bubuk kimia kering (dry powder) penempatannya minimum 15 cm dari permukaan lantai. (c) Tidak diperbolehkan dipasang di dalam ruangan yang mempunyai temperatur lebih dari 490C dan di bawah 40C. b) Tangga Darurat Setiap bangunan Fasyankes yang memiliki 2 (dua) lantai atau lebih, harus memiliki tangga darurat. dengan ketentuan: (1) Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu darurat, diutamakan tahan api, dengan arah pembukaan ke arah tangga dan dapat menutup secara otomatis. Pintu harus dilengkapi petunjuk “KELUAR” atau “EXIT” dengan warna terang dan terlihat pada saat gelap. (2) Tangga darurat dan bordes harus memiliki lebar minimal 1,20 m dan tidak boleh menyempit ke arah bawah. (3) Tangga darurat harus dilengkapi pegangan tangan yang kuat setinggi 1,10 m dan mempunyai lebar injakan anak tangga minimal 28 cm dan tinggi maksimal anak tangga cm. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang tangga darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan. c) Pintu Darurat Beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi untuk pintu darurat, antara lain sebagai berikut: (1) Setiap bangunan atau gedung yang bertingkat lebih dari 2 (dua) lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat. (2) Lebar pintu darurat minimal 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka ke arah luar (halaman). (3) Pintu darurat diutamakan harus tahan terhadap api. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan. d) Keselamatan Lift Memastikan setiap lift harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang undangan. e) Peringatan Bahaya/Sistem Alarm Pada Gedung Setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan berupa sistem alarm, yang dimaksudkan untuk memberikan peringatan dini berkaitan dengan bahaya kebakaran, gempa dan lain- lain. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan sistem instalasi lift, pressure fan untuk tangga darurat. Persyaratan peringatan bahaya atau sistem alarm memiliki detektor panas asap dan nyala api (heat detector). Penempatan dan pemasangan detektor tersebut mengacu pada peraturan yang berlaku. f) Proteksi Kebakaran Proteksi terhadap kebakaran gedung Fasyankes sesuai dengan peraturan perundangan undangan dan minimal tersedia APAR. 3) Memastikan memantau berfungsinya prasarana yang meliputi instalasi listrik, sistem pencahayaan dan sistem grounding (sistem pembumian), dan APAR. ) Memastikan penghawaan/kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara tersedia dengan baik, melalui bukaan dan/atau ventilasi alami dan/atau ventilasi buatan. Dengan persyaratan sebagai berikut: a) Jumlah bukaan ventilasi alami tidak kurang dari 15% terhadap luas lantai ruangan yang membutuhkan ventilasi. Khusus ventilasi dapur minimal 20% dari luas dapur (asap harus keluar dengan sempurna atau dengan ada exhaust fan atau peralatan lain). Sedangkan sistem ventilasi mekanis diberikan jika ventilasi alami yang memenuhi syarat tidak memadai. b) Penghawaan/ventilasi dalam ruang perlu memperhatikan 3 (tiga) elemen dasar, yaitu: (1) Jumlah udara luar berkualitas baik yang masuk dalam ruang pada waktu tertentu. (2) Arah umum aliran udara dalam gedung seharusnya dari area bersih ke area terkontaminasi dan dipastikan terjadi pertukaran antara udara didalam ruang dengan udara dari luar. Pemilihan sistem ventilasi yang alami, mekanik, atau campuran perlu memperhatikan kondisi lokal, seperti struktur bangunan, lokasi/letak bangunan terhadap bangunan lain, cuaca, biaya dan kualitas udara luar. 5) Memastikan pencahayaan memenuhi persyaratan yang berlaku. Tabel 9. Tingkat Pencahayaan Rata-Rata yang Direkomendasikan Ruang Lux Keterangan Ruangan administrasi kantor, ruangan Kepala 200 Fasyankes, ruangan rapat, ruangan pendaftaran dan rekam medik,